HUKUM PROGRESIF;TINJAUAN FILSAFAT ILMU

LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF:

TINJAUAN FILSAFAT ILMU

Oleh

Rizal Mustansyir[*]

ABSTRACT

Discourse on progressive law has been very interesting in academic atmosphere recently. There is any assumption that law for human being and no vice versa, it makes clearer that the progressive law which contradicts with the positive law tend to be formalistic. Distrust to Indonesia law condition makes the idea of progressive law received very enthusiastic. Beside that—law as a process, law in the making—is no final point, so it makes the idea of progressive law be an actual. The problem, however, the progressive law itself is not an establish theory yet, so it need more research. This article wants to discuss the progressive law in Philosophy of Science Perspective, for a mature movement and theory, undoubtedly, have some philosophical assumption.

Keywords: progressive law, Philosophy of Science and philosophical assumption

A. PENDAHULUAN

Gagasan selalu berkembang lebih cepat daripada kenyataan yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi hukum progresif sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang terjadi di Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang dianggap powerless, tak berdaya mengantisipasi kejahatan, maka muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa hukum progresif.

Kendati gagasan tentang hukum progresif baru dikumandangkan beberapa pakar hukum di Indonesia, di antaranya oleh Satjipto Rahardjo, namun tanggapan cukup meluas di kalangan masyarakat ilmiah, bahkan masyarakat awam. Alasannya cukup sederhana; pertama, kejahatan sistemik yang melanda Indonesia semisal korupsi telah menimbulkan dampak luas, sehingga korupsi ditahbiskan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) bagi kehidupan bangsa. Untuk itu masyarakat membutuhkan perangkat hukum yang dipandang adekuat untuk mengatasi kejahatan tersebut. Kedua, gagasan tentang hukum progresif belum lagi merupakan teori yang mapan (established theory), sehingga lebih mudah dibicarakan pada tataran wacana (discourse) yang mengundang masukan dari berbagai pakar, tidak hanya pakar hukum, melainkan juga pakar dari berbagi disiplin ilmu. Ketiga, setiap manusia pasti memiliki idealisme yang tinggi untuk meraih sesuatu, hukum progresif memenuhi persyaratan idealisasi, karena sangat menyentuh hasrat atau keinginan manusia akan keadilan (will to justice).

Berbagai alasan tentang kebutuhan atas hukum yang dapat mengatasi semua problema hukum cenderung bersifat das Sollen, perihal seharusnya ketimbang das Sein, perihal senyatanya. Namun das Sollen sangat dibutuhkan manusia, karena terkait dengan dimensi moralitas. Hukum adalah persoalan manusia yang berujung pada titik omega berupa keadilan, sedangkan keadilan itu sendiri merupakan salah satu wajah ideal dari moral. Dengan demikian hukum harus terkait dengan moral, manakala diinginkan untuk memiliki kekuatan yang mengikat sekaligus membangkitkan kesadaran manusia tentang substansi hukum. Kesadaran manusia merupakan mikro kosmos dari jagad raya hukum. Sedahsyat apa pun aturan dibuat, tanpa didorong oleh kesadaran si pelaku, maka hukum hanya menjadi lembaran dokumen tanpa ruh.

B. PEMBAHASAN

1. Asumsi Hukum Progresif

Satu pemikiran ilmiah lazimnya berangkat dari persoalan (problem). Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Satu penelitian ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk dipecahkan oleh seorang peneliti atau ilmuwan. Masalah bisa ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca, sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiousity) yang lebih besar terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas satu fokus permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa (ordinary) oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih dahulu. Acapkali permasalahan timbul lantaran teori yang ada dipandang tak mampu memecahkan–minimal tidak memuaskan—problem kongkret di masyarakat. Demikian pula halnya dalam hukum progresif, hal terakhir inilah yang paling menonjol ketika teori hukum yang ada dipandang tidak lagi memadai untuk mengatasi problem hukum di masyarakat.

Salah satu problem hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sulit untuk diatasi adalah korupsi. Magnis Suseno, salah seorang pakar Filsafat Sosial, menengarai bahwa korupsi tidak berkurang pasca kejatuhan Orde Baru, karena sewaktu Soeharto berkuasa ia masih mampu mendisiplinkan para bawahannya. Namun ketika Soeharto jatuh, sifat asli mereka semakin kelihatan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan menggunakan kesempatan untuk merampok harta negara sebanyak mungkin (Magnis-Suseno, 2003).

Satjipto Rahardjo (2004) menegaskan bahwa tindakan pro-aktif aparat kejaksaan untuk mengungkap kasus korupsi sangat dinantikan masyarakat. Selain membutuhkan jaksa yang berani, Indonesia juga membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Tuntutan kebutuhan akan hukum progresif sebagaimana yang ditengarai oleh Satjipto Rahardjo berangkat dari kekecewaan masyarakat atas ketidakmampuan aparat hukum untuk meminimalisasikan tinmdak pidana korupsi yang dijuluki sebagai extra ordinary crime (Yudoyono, 2005). Muladi bahkan melihat korupsi tidak lagi sebagai local matter tetapi sudah merupakan fenomena transnasional yang dapat mempengaruhi kehidupan internasional, sehingga dibutuhkan kerja sama internasional untuk mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner (Muladi, 2004). Bayangkan saja tokoh masyarakat yang juga ilmuwan profesional seperti panitia KPU saja terlibat dalam masalah korupsi. Anggota DPR yang dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat, malah melukai hati rakyat dengan perilaku korupsi.

Kebutuhan akan hukum progresif dengan pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner merupakan kata kunci untuk memahami asumsi yang ada di balik hukum progresif itu sendiri. Paling tidak ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam hukum progresif. Pertama, Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Kalau terjadi permasalahan di bidang hukum, maka hukum harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Kedua, Hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) (Satjipto Rahardjo, 2005).

2. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori lain

Sebuah artikel (www.antikorupsi.org) yang berjudul Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan kebersinggungan hukum progresif dengan beberapa teori. Pertama, teori hukum responsif dengan tokohnya Nonet & Selznick yang menginginkan agar hukum peka terhadap setiap perkembangan masyarakat. Salah satu ciri yang menonjol dari teori hukum responsif ini ialah menawarkan lebih dari sekadar procedural justice, namun lebih berorientasi pada keadilan dengan memperhatikan kepentingan umum. Teori ini lebih menekankan pada substantial justice. Persoalan keadilan lebih dipahami sebagai quid ius, bukan quid iuris.

Kedua, teori hukum realis atau legal realism yang ditokohi Oliver Wendell Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of the law has not been logic; it has been experience”. Bahwasanya hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman. Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan lebih dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum. Pemahaman atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui dokumen hukum.

Ketiga, sociological jurisprudence yang ditokohi Roscoe Pound mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi juga melihat efek dan bekerjanya hukum (law as a tool for social engineering). Hukum merupakan alat rekayasa sosial.

Keempat, hukum alam (natural law) yang memberi penjelasan tentang hal-hal yang meta-juridical atau sesuatu di balik hukum. Hukum alam memandang hukum tidak terlepas dari nilai-nilai moral yang bersifat transendental.

Kelima, studi hukum kritis (critical legal studies) yang ditokohi Roberto M. Unger. Mazhab ini tidak puas dengan hukum modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan studi hukum kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum moderen dan menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang satu praktek politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah kritik terhadap formalisme dan objektivisme (Unger, 1999: xxv).

Pengaitan hukum progresif dengan kelima teori hukum pendahulunya ini cukup beralasan (Rationis sufficientis), karena dinamika masyarakat yang ditangkap oleh berbagai teori hukum yang telah mengemuka tentu mengalami perubahan yang signifikan. Di samping itu sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya dipandang sebagai bentuk kebenaran sementara (meminjam prinsip Falsifiable Karl Popper) sebelum ditemukan teori lain yang dipandang lebih sophiticated. Kesadaran akan hukum sebagai sebuah proses untuk terus menjadi, melahirkan kesadaran baru bahwa hukum harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat ular yang terus berganti kulit, maka diperlukan keterbukaan wawasan dari para pakar hukum untuk terus melangkah ke arah idealisme hukum dan melawan bentuk kemandegan hukum dan pendewaan atas berhala teoritis dalam panggung ilmiah (Francis Bacon menyebutnya dengan istilah Idola Theatri).

3. Landasan Filosofis Hukum Progresif

Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran Imre Lakatos (Chalmers, 1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai “teori” merupakan kumpulan yang sesungguhnya rapuh, berbeda dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan umum atau yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard core). Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam program ini akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di belakang suatu sabuk pelindung ( a protective belt) dari hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada tataran wacana. Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable disini meminjam istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami pengukuhan (corroboration).

Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk hukum, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum, sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial. Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu, sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah.

Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik --dalam istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif—lebih mendominasi bidang hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku – dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang-undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi. Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah. Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah. Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48). Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.

Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori Nilai menurut Runes (1972:32) adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif harus dipandang secara objektif-rasionalistik.

Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum positivistik-- harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka-angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct. Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu pula terma “kejahatan” (criminal) tidak ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan dalam kehidupan manusia.

Ilmu selalu memiliki kepentingan, ujar Habermas. Ia menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan. (1971:313). Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain).

Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah, dan lain-lain.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas tentang hukum progresif yang ditinjau dari perspektif filosofis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama; terlalu dini untuk mengatakan bahwa hukum progresif itu sebagai sebuah teori, karena syarat bagi sebuah teori, yakni sudah melalui pengujian metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah, belum lagi dipenuhi. Kedua, hukum progresif sebagai sebuah wacana cukup menarik minat dan perhatian masyarakat ilmiah, karena semangat pembaharuan dan pengembangan atas teori hukum yang selama ini berlaku, namun dianggap tidak mampu mengatasi persoalan hukum yang ada di masyarakat Indonesia. Ketiga, hukum progresif dapat berkembang menjadi sebuah teori hukum (tidak sekadar sebagai gerakan atau trend) apabila diletakkan dalam kerangka Scientific Research Program, program riset ilmiah dengan menemukan inti pokok program (hard core) yang terlindungi dari berbagai bentuk kesalahan (falsifiable). Keempat, hukum progresif sebagai sebuah gerakan/aliran/mazhab dapat terus dikembangkan, dengan syarat memiliki visi dan misi yang jelas. Sebab gerakan tanpa visi dan misi yang jelas, meskipun idenya bagus, pasti akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Kelima, landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi hukum progresif perlu dikembangkan agar warna ilmiah-filosofisnya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and Row Publishers, Albuquerque.

Chalmers, A.F., 1983, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called Science?, Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.

Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston.

Magnis Suseno., 2003, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Muladi, 2004, “Substantive Highlights’s dari Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi”, dalam Seminar Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 6-7 Mei 2004.

Satjipto Rahardjo., 2004, “Kejaksaan Segeralah Bertindak”, dalam KOMPAS, 2 Oktober, 2004.

Satjipto Rahardjo., 2005 “Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP.

Susilo Bambang Yudoyono, 2005, Pidato disampaikan dalam Rapat Koordinasi tentang Percepatan Penanganan TPK antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, Jakarta, 7 Maret, 2005.

Unger, Roberto M., 1999, Gerakan Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.



[*] Rizal Mustansyir, staf pengajar pada Fakultas Filsafat UGM dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, Filsafat Bahasa, Hermeneutika, Aksiologi Ilmu.

Konsep Politik Islam Ibnu Khaldun

RELEVANSI KONSEP POLITIK ISLAM MENURUT

IBNU KHALDUN DENGAN SOSIAL POLITIK INDONESIA

Oleh : Am’mar Abdullah Arfan, S.H.[1]

A. Pendahuluan

Lengsernya rezim otoriter Orde Baru pada bulan Mei 1998 memberikan pengharapan yang sangat besar kepada bangsa Indonesia. Harapan itu berupa sejuknya rasa kebebasan dan indahnya keluar dari keterkungkungan tekanan yang membelenggu setelah hampir selama tiga dekade. Rakyat Indonesia ditekan oleh kepentingan penguasa yang lalim, perlakuan subordinatif terhadap hak-hak asasi manusia, dan terutama hukum yang menjadi kendaraan politik karena hanya merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berkompetisi yang hanya berorientasi untuk kursi kekuasaan tanpa memikirkan nasib rakyatnya.[2]

Setelah angin reformasi itu berhembus-sebagai tonggak kemenangan kaum reformis-ternyata sejumlah persoalan yang krusial terutama dalam bidang hukum muncul. Pada satu sisi ada keinginan kuat untuk memposisikan hukum sebagai ‘mercu suar’, artinya segala permasalahan yang muncul harus diselesaikan secara hukum sehingga hukum yang idealitanya sebagai tool of social enginering dapat terwujud. Pada sisi yang lain ada keinginan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang selalu mengapresiasi pluralitas, kebebasan, dan hak asasi manusia. Kondisi semacam ini disebabkan oleh karena ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi dua dimensi yang berbeda ini.

Selain di bidang hukum, akibat dari reformasi itu adalah tersedianya ruang besar dalam bidang politik (the free public sphere). Hal ini dapat dibuktikan dengan begitu banyaknya partai politik yang bermunculan beberapa bulan pasca reformasi tersebut. Partai-partai itu baik yang berideologi nasionalis maupun berasaskan Islam baik secara substantif maupun simbolik. Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan sampel dari partai yang secara simbolik maupun ideologis berdasarkan Islam. Sedangkan semisal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN), kendati telah memproklamirkan sebagai partai terbuka namun keberadaannya secara substansial tidak dapat dipisahkan dari term Islam dan umat Islam Indonesia.

Beberapa partai itu khususnya yang berideologi Islam mencoba untuk menumbuhkan kembali diskursus tentang penerapan syari’at Islam di Indonesia, yaitu dengan memakai Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar negara yang mana hal itu dilakukan untuk menarik dukungan massa terutama yang memandang bahwa segala sistem pemerintahan harus diberlakukan dengan menggunakan sistem Islam.

Memang, pembicaraan mengenai hubungan agama dan negara, sistem politik Islam, dan relasi Islam dengan ketatanegaraan merupakan tema yang sangat menarik untuk dibicarakan pada konteks kekinian. Sehingga sangatlah wajar jika pada dekade terakhir ini kajian tentang hubungan agama dan negara cukup intens dilakukan melalui gerakan-gerakan intelektual maupun kultural untuk mewujudkan renaissance Islam[3] serta untuk membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang universal dan kāffah.

Banyak buku dan arikel yang berbicara tentang tema ini dan satu sama lain seakan menunjukkan corak kompetitif dikarenakan metodologi yang dipakai sangat beragam. Tetapi ironisnya ‘persaingan ilmiah’ terebut terkadang mengabaikan perbedaan antara yang ilmiah dengan yang ideologois atau antara fakta sejarah dengan yang semata-mata keinginan subyektif, baik yang terkandung dalam wacana itu sendiri maupun pada wacana-wacana rujukan yang mereka gunakan. Padahal tema ‘agama dan negara’ adalah tema yang rentan dengan kepentingan politik dan tunduk pada kebutuhan serta logika politik.[4]

Selama ini, terdapat tiga klasifikasi umat Islam dalam kaitannya dengan hubungan Islam dan tata negara.[5] Pertama, yang berpendapat bahwa Islam bukankah sistem tentang hubungan manusia dan Tuhan saja seperti dalam pengertian Barat, namun Islam adalah suatu agama yang sempurna menyangkut pengaturan segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.[6] Kedua, aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Tokoh aliran ini adalah Ali Abd. Al-Raziq dan Toha Husein.[7] Ketiga, aliran yang berpendirian bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan yang ready for use akan tetapi Islam hanya menyediakan seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Aliran ini merupakan jalan penengah antara kedua aliran sebelumnya.

Tulisan singkat ini akan menelisik persoalan sistem politik Islam dengan mengkaji pemikiran Ibnu Khaldun, karena pemikirannya dianggap sudah mampu merepresentasikan beberapa konsep intelektual Muslim di bidang sistem politik Islam ditambah dengan keunggulan yang dimiliki oleh Ibnu Khaldun dalam membuat formulasi yang tidak hanya bersumber dari aspek normatif (tekstual) tetapi juga mendasarkan pada aspek sosial, budaya, dan geografis.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut;

1. Bagaimana pemikiran Ibnu Khaldun tentang sistem politik Islam?

2. Bagaimana relevansi antara konsep Ibnu Khaldun dengan sosial politik Indonesia?

C. Pembahasan

1. Sistem Pemerintahan Islam; Sebuah Telaah Pemikiran Ibnu Khaldun

Dengan menggunakan pendekatan sosio-historis, secara sistematis pembahasan akan dimulai dengan memaparkan pemikiran Ibnu Khaldun tentang sistem politik Islam dilanjutkan dengan relevansi antara konsep Ibnu Khaldun dengan sosial politik Indonesia.

Paling tidak, terdapat Empat sub tema ketika mengkaji pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal sistem politik Islam, yaitu asal mula timbulnya negara, konsep kepala negara, pengaruh faktor geografis terhadap politik, dan solidaritas kelompok.

Pertama; Asal mula timbulnya negara.

Ibnu Khaldun seorang kritikus dan pakar sosiologi,[8] berpendapat bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat yang telah banyak dikemukakan oleh para ahli sosiologi, bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politicon) atau makhluk sosial. Manusia akan merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya jika ia hidup sendirian tanpa adanya institusi yang mengorganisasikannya.

Kebutuhan utama manusia adalah makanan dan keamanan. Dua kebutuhan tersebut tidak dapat tercapai seorang diri, maka secara otomatis manusia memerlukan kerjasama antar sesamanya. Hal inilah yang menyebabkan manusia membutuhkan organisasi kemasyarakatan. Setelah terbentuknya organisasi kemsyarakatan dan peradaban, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pelaksana keadilan di antara mereka. Manusia selain membtuhkan rasa keadilan juga memiliki rasa agresif dan watak tidak adil, maka keberadaan seseorang yang mampu mengayomi dan melindungi hak-haknya dari serangan dan kelaliman sesamanya sangat dibutuhkan.

Fenomena riil inilah yang akhirnya mengilhami Ibnu Khaldun untuk memikirkan tentang asal mula negara dan menjadi embrio konsep negara menurut Ibnu Khaldun. Karena negara dalam skala makro menempati posisi organisasi kemasyarakatan yang dapat memenuhi kebutuhan kodrati manusia. Gagasan ini juga serupa dengan yang telah diungkapkan terlebih dahulu oleh Plato.[9]

Kedua; Konsep kepala negara.

Menurut Ibnu Khaldun, keberadaan kepala negara sebagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim merupakan suatu keharusan bahkan keniscayaan bagi kehidupan bersama umat manusia dalam suatu komunitas masyarakat (negara). Jabatan kepala negara merupakan lembaga yang alamiah dan natural bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang kepala negara yang sebenarnya, harus memiliki superioritas dan keunggulan serta kekuatan fisik agar keputusan atau kebijakan yang diambil dapat berlaku secara efektif. Seorang kepala negara harus memiliki tentara yang kuat dan loyal kepadanya guna menjamin keamanan negara dari ancaman luar. Selain itu ia harus berkuasa menarik dana bagi pembiayaan operasional negara.

Kebijakan pemerintah yang diambil melalui kepala negara meski didasarkan pada peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik tertentu, yang tidak merugikan bagi sebagian atau keseluruhan rakyat. Kebijaksanaan politik itu dapat diambil dari beberapa sumber, yaitu pertama, rekayasa para intelektual, cendekiawan, pemuka masyarakat, dan orang pandai di antara mereka. Kedua, ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada utusan-utusannnya.

Secara sistematis, Ibnu Khaldun telah memberi kriteria tertentu bagi seseorang yang akan menduduki jabatan kepala negara, yaitu bahwa ia harus berilmu, adil, mampu, sehat badan, dan dari keturunan Quraiys (keluarga terhormat).[10]

Ketiga; Pengaruh faktor geografis terhadap politik.

Ibnu Khaldun mensinyalir bahwa keanekaragaman keadaan fisik, watak, mental, dan perilaku manusia itu dipengaruhi oleh faktor geografis. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang beriklim ekstrim, sangat panas atau sangat dingin, baik peradaban maupun budayanya tidak akan dapat berkembang secara dinamis. Sebaliknya suatu bangsa akan dapat memberikan kontribusinya kepada sejarah dan kebudayaan dunia manakala terletak di bagian bumi yang beriklim sedang.

Teori ini dipergunakan oleh para ahli hukum Islam sebagai salah satu dasar argumentasi bahwa pelaksanaan ajaran Islam dan hukumnya yang universal itu dapat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain karena perbedaan lingkungan, kondisi, adat istiadat, dan tradisi.[11]

Keempat; Solidaritas kelompok.

Kekhasan pemikiran politik Ibnu Khaldun dari pemikir-pemikir lainnya adalah teori ‘ashabiyah-nya yang dikaitkan dengan agama dan negara. ‘Ashabiyah (perasaan satu kelompok, atau kekuatan kelompok dan atau solidaritas sosial), menurut Ibnu Khaldun, timbul secara alamiah dalam kehidupan manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian perkauman (shilat al-rahm). Yang ia maksudkan dengan ‘ashabiyah adalah “rasa cinta (nu’rat) setiap orang terhadap nasabnya dan golongannya yang diciptakan oleh Allah di hati hamba-hambanya untuk cinta dan kasih terhadap keluarga dan kerabatnya.

‘Ashabiyah mampu memberikan perlindungan, memelihara pertahanan bersama, dan sanggup memelihara kegiatan masyarakat lainnya. Karena sudah menjadi tabiat manusia, untuk mencapai itu semua, membutuhkan pemimpin (wāzi’ dan hākim) yang berperan mencegah agar permusuhan tidak terjadi antara sesama. Pemegang kekuasaan mesti memiliki superioritas (al‑taghalluf) atas yang lain dalam hal ‘ashabiyah. Jika tidak, ia tidak akan bisa melaksa­nakan kekuasaannya secara efektif. Superioritas yang berarti al­mulk melebihi cakupan pengertian kepemimpinan (al‑riyāsat). Al-Riyāsat adalah keadaan menjadi pemimpin atau kepala suku yang dipatuhi oleh sukunya dan tidak ada paksaan di dalam memimpin mereka. Sedangkan al‑mulk adalah superioritas dan memerintah dengan kekerasan. Demikianlah apabila salah seorang dari kalangan ‘ashabiyah telah mencapai kepemimpinan suku dan baginya terbuka jalan menuju superioritas, walaupun dengan jalan kekerasan, ia tidak akan menyia‑nyiakannya yang menjadi bagian dari ambisinya. Tapi ia harus mendapat dukungan dari ‘ashabiyah yang akan diikuti oleh yang lainnya.[12]

Suatu ‘ashabiyah yang lebih kuat akan menguasai semua ‘ashabiyah yang ada dan tunduk kepadanya, sehingga menjadi suatu koalisi bagaikan ‘ashabiyah yang besar. Bila tidak, maka terjadilah perpecahan dan pertentangan. Ibnu Khaldun mendasar­kan pandangannya ini pada ayat Al‑Qur’an surat Al‑Baqarah, ayat 25: Seandainya Allah tidak mencegah (keagamaan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Lebih lanjut ia jelaskan jika satu ‘ashabiyah telah memperoleh superioritas atas rakyat golongannya, maka ia akan mencari superioritas atas rakyat dari ‘ashabiyah‘ashabiyah lain yang tidak mempunyai hubungan apa‑apa dengannya. Jika ‘ashabiyah yang satu sama kuatnya dengan ‘ashabiyah lain, maka masing-masing tetap menguasai daerah dan rakyatnya sendiri, sebagaimana halnya kabilah‑kabilah dan bangsa-bangsa di seluruh dunia.[13] Pandangan ini sejalan dengan lahirnya bangsa‑bangsa di dunia berdasarkan nasionalisme. Memang faktor‑faktor yang menyebabkan tumbuhnya ‘ashabiyah dan nasionalisme terdapat kesamaan.

Tapi jika satu ‘ashabiyah menaklukkan ‘ashabiyah lainnya dan takluk kepadanya, dan di antara keduanya terjalin hubungan akrab, maka pihak yang menang memperoleh tambahan kekuatan dari pihak yang kalah. Namun pihak yang kalah pada suatu saat akan menuntut tujuan yang lebih tinggi dari tujuan semula dalam hal superioritas dan dominasinya, sehingga kekuatannya menya­mai kekuatan pihak yang berkuasa. Sebaliknya jika ‘ashabiyah yang berkuasa sudah lemah dan usia lanjut, dan di antara para pemuka se‑‘ashabiyah tak ada yang mampu mempertahankan kekuasaan, maka ‘ashabiyah yang baru muncul akan merebut kekuasaan. Disamping itu bisa juga terjadi ‘ashabiyah yang se­dang berkuasa dan kuat merangkul ‘ashabiyah lain yang punya kekuatan untuk mencapai tujuan‑tujuan politiknya.[14] Pandangan Ibnu Khaldun ini, jatuh bangunnya ‘ashabiyah, mirip dengan pa­sang surut kehidupan partai‑partai politik dalam suatu negara. Partai politik yang kuat akan berkuasa dan memerintah, tanpa mengikutsertakan partai‑partai yang lemah dalam pemerintahan. Tapi bila ada dua atau lebih partai yang memiliki kekuatan berimbang, maka akan terbentuk pemerintahan koalisi. Atau bisa juga terjadi dua atau lebih partai bergabung menghadapi dominasi partai yang kuat dan sedang berkuasa.

Sekarang kita ikuti pandangan Ibnu Khaldun tentang relevansi teori ‘ashabiyah‑nya dengan agama. Menurutnya kekuatan suatu ‘ashabiyah tidak cukup hanya diandalkan pada kekuatan fisik. Ia juga harus memiliki kekuatan moral yang di dasarkan pada agama dan akhlak. Manusia yang cenderung kepada kebaikan dan kejahatan, perlu dibimbing kepada kebaikan. Karenanya kekuasaan dan politik harus berpegang pada agama dan moral. “Politik dan kekuasaan itu bertujuan untuk melindungi rakyat, melaksanakan hukum-hukum Allah pada mereka, dan hukum-hukumNya itu bertujuan untuk kebaikan, memelihara kemaslahatan, dan pemerintahan yang demikian akan menjadi kuat”[15] demikian Ibnu Khaldun menegaskan. Karena itu suatu pemerintahan (daulat) tegak dan menjadi besar karena agama, karena peranan Nabi atau seruan dan ajakan yang benar. Al-mulk tercapai karena superioritas. Superioritas diperoleh karena ‘ashabiyah serta bersatunya kehendak dan jiwa untuk mencapai tujuan. Bersatunya kehendak dan jiwa, karena kehendak Allah untuk menegakkan agamaNya. Demikian pula dakwah bisa menambah kekuatan ‘ashabiyah yang menjadi dasar tegaknya daulah. Sebab agama dapat menghapuskan persaingan dan permusuhan di antara pendukung ‘ashabiyah, dan membimbing mereka kepada arah dan tujuan yang satu, serta menuntut persamaan di antara mereka. Sebaliknya dakwah agama tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan ‘ashabiyah, sebagaimana hadits Nabi mengatakan: “Allah tidak akan mengutus seorang nabi, kecuali mendapat dukungan dari kaumnya.”[16]

Dengan begitu, jatuh bangunnya suatu daulah, dalam pemikiran Ibnu Khaldun, sangat tergantung kepada superioritas satu ‘ashabiyah terhadap yang lain. Dan antara ‘ashabiyah dan agama saling mendukung dan membesarkan kedudukan dan peranan masing-masing. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu membimbing rakyat kepada kebenaran dan mewujudkan kemaslahatan mereka.

Dari uraian tentang teori ashabiyyah dapat diambil kesimpulan antara lain:

a). Secara alamiah solidaritas kelompok itu terdapat dalam watak manusia.

b). Adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu keharusan dalam membangun suatu negara.

c). Seorang kepala negara, agar dapat secara efektif mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya, harus mampu menumbuhkan solidaritas kelompok.

d). Solidaritas kelompok dapat melahirkan pemimpin yang unggul dan superior.

2. Artikulasi Cita-Cita Politik Islam Di Indonesia Pasca Orde Baru

a. Belajar dari sejarah

Untuk mengartikulasikan cita-cita politik Islam di masyarakat Indonesia yang plural memang bukan persoalan mudah. Hal ini berkaitan dengan adanya sejumlah kendala yang muncul dan saling mengait ketika aspirasi politik Islam diartikulasikan di masyarakat Indonesia yang plural ini. Dari sekian banyak kendala yang muncul dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional adalah kendala bagaimana ajaran Islam yang normatif dapat dijabarkan menjadi seperangkat aturan yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan kendala praktis yaitu kendala bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat Indonesia yang plural.

Generasi Islam saat ini harus banyak belajar dari generasi masa lalu, yaitu ketika gerakan Islam legal konstitusional maupun gerakan kekerasan yang banyak membawa bendera Islam, misalnya Masyumi, DI/TII, dan lain-lain, gagal menawarkan Islam sebagai dasar negara di Indonesia. Demikian juga di era Orde Baru, di mana semua gerakan politik yang berbau Islam, baik yang formal konstitusional maupun informal semi kekerasan, selalu dicurigai pemerintah dan kemudian selalu dipangkas sampai ke akar‑akarnya. Sebagai contohnya adalah PPP yang selalu dikerdilkan agar tidak berkembang. Demikian halnya kasus Lampung dan Tanjung Priok yang dibabad habis tanpa ampun.

Mengapa gerakan‑gerakan legal konstitusional dan gerakan perlawanan fisik ini senantiasa berakhir dengan kegagalan? Ini semua berkaitan erat dengan realitas bahwa umat Islam tidak bersatu, bahkan sangat sulit bersatu, baik di parlemen maupun di masyarakat sebagai basis massa. Selain itu, sejumlah studi menun­jukkan bahwa kualitas ‘keshalihan’ orang Islam di berbagai tempat dan kelompok massa sangat beragam. Karena itu, tingkat keshalihan tersebut juga ikut serta menyumbang terhadap kegagalan perjuangan tersebut. Sejumlah ahli mengatakan bahwa kegagalan tersebut juga karena faktor militer Indonesia yang saat itu dikuasai oleh faksi ‘abangan’, kelompok abangan di dalam tubuh militer merupakan kelompok yang selalu dan paling cemas terhadap kekuatan Islam yang sangat potensial membangun kekuatan tandingan.

b. Dua Model Pendekatan

Seluruh umat Islam sepakat bahwa ajaran‑ajaran Is­lam harus dielaborasi dalam kenyataan sosial. Hal ini berkaitan erat dengan keyakinan bahwa Islam meng­ajarkan kepada umatnya agar kehidupan individu maupun sosial harus diarahkan pada tatanan moral ideal. Dari fenomena sejarah Islam di Indonesia, proses artikulasi politik Islam dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu, pertama, Islamisasi negara nasional untuk kepentingan umat Islam, dan kedua, Islamisasi masyarakat dalam negara nasional.[17] Yang dimaksud dengan Islamisasi negara adalah upaya merealisasikan ajaran Islam melalui negara. Negara Indonesia diupayakan berdasarkan Islam. Mengapa demikian? Karena sebagian besar penduduk Indonesia‑baik Islam ideologis maupun nominal‑secara resmi menganut Islam. Selain itu, Islam sebagai sistem nilai tidak akan kukuh atau berdiri tegak tanpa didukung oleh negara yang di dalamnya terdapat mesin birokrasi. Untuk mengatasi kenyataan sosiologis umat Islam Indonesia yang serba terpuruk dalam berbagai aspek kehidupan‑secara ekonomi lemah, aspek pendidikan tidak berkualitas, banyak yang buta huruf, dan lain‑lain-maka untuk mengatasi masalah tersebut sangat efektif bila melalui jalur resmi negara. Dengan kata lain, paling tidak, Islam dapat mempengaruhi negara dalam mengambil kebijakan publik agar berpihak pada umat yang mayoritas tetapi nestapa ini. Tuntutan Islam terhadap negara adalah agar negara secara resmi menulis teks pada konstitusi dan aturan‑aturan yang lebih bawah lainnya semuanya diambil dari Al‑Qur’an atau hadits. Selain itu, negara juga harus mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan‑kepentingan Islam.

Sejumlah kritik segera muncul yang dialamatkan kepada perjuangan model formal tersebut. Artikulasi model formal atau struktural seperti tersebut di atas secara cepat atau lambat akan berbenturan dengan umat beragama lain karena dinilai diskriminatif. Selain itu, kelompok lain akan selalu mencurigai umat Islam sebagai kelompok hegemonik dan egois karena selalu mencoba mempengaruhi kebijakan dan implementasi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap ekstrim, merasa agamanya yang pa­ling benar.

Berangkat dari kenyataan sosial bahwa bangsa Indonesia yang pluralistis dari segi ras, agama, tingkat keshalihan, dan world view‑nya, serta pengalaman masa lalu perjalanan Islam di Indonesia, maka generasi baru Islam telah melahirkan cara pendekatan lain dalam mengartikulasikan kepentingan Islam, yaitu melalui pendekatan Islamisasi masyarakat dalam negara nasional. Yang dimaksud dengan pendekatan ini ada­lah pendekatan di mana artikulasi politik Islam diterjemahkan secara lebih substansial, yakni ajaran-­ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa‑bahasa ekonomi, kemanusiaan, hak‑hak asasi manusia, pem­berdayaan masyarakat, dan lain‑lain. Model artikulasi ini menjadikan perjuangan Islam seiring dengan semangat kemanusiaan dan terintegrasi dengan nasionalisme Indonesia. Selain itu juga memandang perjuangan Islam tidak sempit lagi, yaitu terbatas pada arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan, hukum, dan lain‑lain. Bagi mereka yang menggunakan artikulasi model substansial ini, maka terbentuknya negara Islam tidaklah penting, namun yang lebih pokok adalah secara substansial pesan‑pesan pokok Islam dapat terwujud, seperti: semangat egalitarian, huma­niter, demokrasi, keadilan sosial, dan lain‑lain.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diraih umat Islam jika menggunakan model pendekatan model ini. Keuntungan tersebut yaitu: umat Islam tidak akan dicurigai lagi sebagai kelompok hegemonik, egois, dan ekstrim. Selain itu, hubungan antara agama‑agama di Indonesia‑yang seolah‑olah menjadi konflik abadi dan tidak terjembatani‑akan berubah menjadi har­monis. Demikian juga, hubungan Islam dan negara yang selama ini terkesan bernuansa konfliktual berubah menjadi saling mengakomodasi.

Apakah artikulasi politik Islam di Indonesia hanya dua model seperti tersebut di atas? Tampaknya, ke­nyataan sosiologis dan politis yang berkembang di lapangan terus berubah. Dalam artian, bahwa gejala ini tidak ada jawaban final dan pasti, apalagi mutlak dalam memahami gejala politik Islam di Indonesia. Dua model pendekatan di atas hanyalah sebuah main­stream artikulasi politik Islam di Indonesia dan sifatnya tentu saja hanya sementara. Maka dari itu, sangat dimungkinkan tumbuhnya pendekatan lain yang berbeda dari dua mainstream tersebut. Realitas sosial politik Islam pasca Orde Baru tampaknya sedang bergerak dan bergelora.

Dari sekian banyak gejala politik yang muncul, ada satu gejala yang patut dicermati bersama yakni lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebab, kedua partai tersebut sangat tidak lazim di kalangan umat Islam. Kedua partai tersebut lahir dari rahim organisasi terbesar keagamaan di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ketidaklaziman kedua partai ini karena beberapa faktor: Pertama, tidak berazaskan Islam; Kedua, keanggotaannya terbuka untuk semua lapisan masyarakat dan semua golongan, tanpa kecuali; dan ketiga, program‑pro­gram kedua partai tersebut sama sekali tidak meng­gunakan atribut Islam dalam pengertian ‘tekstual’. Na­mun demikian, pendiri dan sebagian besar basis massa pendukung kedua partai tersebut adalah warga Mu­hammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua organisasi ter­tua dan terbesar keagamaan paling berpengaruh di Indonesia.

PAN dan PKB jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam model pendekatan struktural. Sebab, realitasnya PAN dan PKB tidak menginginkan negara Islam di Indonesia, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Demikian juga dua partai tersebut tidak menuntut agar pemerintah dalam mengimplementasi­kan kebijakannya lebih berpihak pada Islam, apalagi menuntut agar negara mencantumkan secara tekstual atau formal kata‑kata Islam dalam Konstitusi. Dan yang lebih penting, kedua partai tersebut menjunjung tinggi pluralitas bangsa Indonesia. Artinya, bahwa secara realitas sosiologis bangsa Indonesia bersifat plural; baik agama, suku, cara pandang atau world view dalam bidang politik yang sangat beragam. Kedua partai tersebut juga tidak dapat dimasukkan ke dalam jalur kultural. Sebab, dengan tegas kedua partai tersebut bergerak dalam bidang politik formal. Kedua partai tersebut terlibat secara penuh ikut serta mengelola negara, memiliki perwakilan yang cukup signifikan di parlemen. Kedua partai tersebut jelas-­jelas ikut serta bahkan terdepan dalam membuat agenda politik kenegaraan pasca Orde Baru. Sedangkan tema­-tema yang mereka kumandangkan adalah: pernerintah­an yang bersih dan berwibawa; bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; mendahulukan kepentingan publik dan mengakomodasi aspirasi masyarakat seluas‑luasnya. Pemerintah harus mengedepankan keadilan, sehingga harus populis dan kebijakan ‑kebijakannya harus meng­utamakan dan memihak pada kepentingan rakyat banyak. Pemerintah harus membuka peluang yang lebar bagi partisipasi rakyat dalam ikut serta secara aktif dalam mengelola negara dengan melakukan transparansi dan akuntabilitas kebijakan yang dibuatnya dan membuka pintu kritik selebar‑lebarnya sebagai wujud nyata mekanisme check and balances.

Sejauh ini, bagaimana implementasi ‘idealisme’ kedua partai terbuka tersebut dalam masyarakat? Sampai dengan saat ini kegiatan kedua partai politik tersebut sedang terus berlangsung, sukses atau gagal, sungguh‑sungguh atau sekadar lip service hanya waktu yang akan membuktikannya. Hanya ada beberapa indikator yang menunjukkan kecenderungan gerak kedua partai tersebut. PAN sudah mencoba sekuat tenaga agar partai tersebut betul‑betul menjadi partai terbuka dan menjadi rahmatan lil alamin. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut, seperti: beberapa pimpinan terasnya berasal dari non‑Islam, program-programnya sama sekali tidak mencerminkan mengambil dari jargon-jargon Islam , dan struktur organisasinya sama sekali tidak mencerminkan struktur organisasi dalam Islam, misalnya Dewan Syura, Tanfidziah, dan lain‑lain. Namun demikian, PAN juga harus dapat bergerak lebih jauh yakni agar dapat lepas dari primordialisme Muhammadiyah. Sedangkan PKB sedang bekerja keras agar betul‑betul menjadi partai terbuka bukan ‘terbuka setengah hati’. Sepengetahuan penulis, PKB belum menerima staf ketua yang beragama lain‑Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha. Selain itu, PKB belum dapat melepaskan diri dari kawalan Nahdlatul Ulama dan para kyai.

c. Objektivikasi Nilai‑nilai Islam

Islam bukan dirasakan hanya mereka yang menganut Islam, tetapi juga dirasakan manfaatnya bagi orang‑orang yang tidak beragama Islam. Namun bagaimana strategi yang tepat untuk mengimplementasikan nilai‑nilai Islam di Indonesia? Usaha‑usaha untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam di Indonesia ternyata mengalami pasang surut. Dari sekian banyak aktivitas yang dilakukan ormas maupun orsospol Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua model, yakni model formal atau tekstual dan model kultural atau substansial. Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya ada gejala menarik yang terjadi di masyarakat Muslim Indonesia, yakni lahirnya dua partai yang sama sekali tidak menggunakan jargon-jargon khazanah Islam, yakni PAN dan PKB. Pertanyaan yang muncul, sedang terjadi apa di balik peristiwa berdirinya PAN dan PKB tersebut? Memang tidak mudah untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan tersebut. Kalau kita meminjam istilah Kuntowijoyo, mereka sedang mencoba melakukan objektivikasi nilai Islam.

Menurut Kuntowijoyo, yang dimaksud dengan objektivikasi nilai Islam adalah elaborasi nilai‑nilai inter­nal Islam ke dalam kategori objektif.[18] Kata objektivi­kasi berpasangan dengan ‘eksternalisasi’. Yang dimak­sud dengan eksternalisasi adalah kegiatan‑kegiatan kon­kritisasi dari nilai‑nilai yang dihayati oleh seorang Mus­lim secara internal.[19] Selanjutnya Kuntowijoyo menjelas­kan bahwa objektivikasi memiliki prosedur yang sama dengan eksternalisasi, tetapi masih perlu ditambah. Adapun tambahannya yaitu suatu nilai dikatakan telah terobjektivikasi jika nilai tersebut telah memproduk perbuatan‑perbuatan yang dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Yang lebih penting dari itu adalah perbuatan‑perbuatan tersebut bersifat wajar atau natural.[20]

Akan lebih jelas jika kita ambil sebuah contoh adalah zakat dalam Islam. Zakat selain sebagai kewajiban bagi mereka yang memenuhi syarat juga sebagai nilai internal Islam yang subjektif. Artinya, institusi zakat adalah institusi yang hanya dikenal dan dijalankan orang Islam. Orang‑orang di luar Islam tidak mengenal institusi tersebut. Institusi zakat dikatakan terobjektivikasi jika zakat telah dirasakan manfaatnya dan dibutuhkan oleh setiap orang untuk kesejahteraan masyarakat, baik Muslim maupun non‑Muslim. Dengan kata lain, objektivikasi zakat itu sejalan dengan semangat kemanusiaan yang natural dan universal. Semangat objektivikasi nilai Islam inilah yang sangat mungkin menjadikan kehadiran Islam dapat diterima oleh seluruh umat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Apa yang dilakukan fungsionaris PAN dan PKB, boleh jadi sedang melakukan proyek besar yang belum pernah dilakukan para politisi Islam pendahulu mereka, yakni proyek objektivikasi nilai‑nilai Islam di bidang politik. Harapannya agar kehadiran Islam tidak menakutkan dan lebih jauh dari itu, nilai‑ nilai Islam dapat terimplementasi dalam negara Indonesia tanpa harus dalam label Islam. Tema‑tema yang mereka kumandangkan adalah terjaminnya hak‑hak asasi manusia, yang berupa: hak alamiah, hak sipil, maupun hak ekonomi dan sosial, kesemuanya harus dijamin oleh negara. Kekuasaan harus bebas dari praktik kolusi, korupsi dan nepotisme. Pemerintah harus dijalankan secara demokratik, seperti: menetapkan agenda kenegaraan dilakukan bersama, membuka peluang agar masyarakat luas ikut berpartisipasi secara aktif dalam mengelola dan mengontrol jalannya pemerintahan. Dalam setiap kebijakan, pemerintah harus berpihak pada kepentingan publik atau rakyat banyak. Kesemua tema tersebut tentu saja sejalan dan seiring dengan semangat kemanusiaan yang natural, dan tentu saja hal ini otomatis Islami.

3. Relevansi Konsep Politik Islam Menurut Ibnu Khaldun dengan Sosial Politik Indonesia

Gagasan Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa asal mula suatu negara ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Di Indonesia, negara menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang mengatur semua tata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman.

Di dalam menjalankan fungsinya, negara harus dipimpin oleh seorang kepala negara. Konsep kepala negara yang dicitakan oleh Ibnu Khaldun haruslah seorang yang berilmu, adil, mampu, sehat, dan dari keturunan Quraiys. Jika konsep ini diterapkan di Indonesia maka sangatlah tepat dan relevan, kendati harus dilakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi dalam konteks ke-Indonesia-an. Kepala negara yang akan memimpin bangsa Indonesia haruslah orang yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Mustahil seorang dapat menjalankan fungsi kepemimpinannya secara optimal jika tidak mempunyai perangkat keilmuan. Kontekstualisasi dari syarat ‘dari keturunan Quraiys’ adalah bahwa kepala negara atau pemerintah harus mempunyai kewibawaan dan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Suatu pemerintahan yang tidak legitimate akan mendapatkan kendala dalam menjalankan tugasnya.

Bagi Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas beberapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang plural, multikultural, dan multirelijius, tidak mutlak harus berdasarkan Islam tetapi nilai-nilai Islam yang menjadi ruh (soul) dan jiwa (spirit) dari peraturan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.[21]

Dalam konteks penerapan syariat Islam di Indonesia misalnya, maka sangat sulit diejawantahkan, karena kondisi geografis dan kultur masyarakat Indonesai jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Arab ketika ayat al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk peraturan dan sistem ketatanegaraan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam secara substantif bukan menjadi hal yang signifikan.

Bagi Ibnu Khaldun sendiri tidak terlalu mempersoalkan apakah negara itu harus mengikuti sistem pemerintahan Islam seperti pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Yang paling esensi baginya adalah bahwa tujuan diadakannya negara untuk melindungi rakyat dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran tercapai, dengan tetap mengapresiasi dan mengakomodasi nilai-nilai universal Islam yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya. Itu semua memiliki tujuan agar ajaran Islam yang komprehensif, universal dan berjiwa rahmatan li al-‘ālamīn tidak mengalami kejumudan (stagnancy) jika didialogkan dengan kondisi nyata sosio-kultur masyarakat pada saat ini.

D. Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Menurut Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas bebrapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal.

2. Dalam konteks ke-Indonesia-an konsep ini sangat relevan. Titik relevansinya terletak pada sistem politik dan ketetanegaraan Indonesai kendati tidak mengacu pada asas Islam secara formal, tetapi konstitusi itu masih tetap mengakomodasi nilai substantif Islam sebagai ruh dan jiwa (landasan etis).

DAFTAR PUSTAKA

Abul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Mizan, Bandung, 1998.

A Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

GK Hall an CO,“Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam”. Terjemahan dari Ibnu Khaldun and Islamic Thought Style: A Social Perspective, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.

Hamim Ilyas (Ed). “Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal As-Syir’ah no. 8 tahun 2001, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

J. Sayuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Khoiruddin Nasution, “Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin” dalam jurnal al-Mawarid edisi ke-6 tahun 1998, Fak. Syari’ah UII, Yogyakarta.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1991.

M. ‘Abid al-Jabiri, “Agama, Negara, dan Penerapan Syariah”, Terjemahan dari Al-Dīn wa al-Daulah wa al-Tatbīq al-Syarī’ah, Fajar Pustaka, Yogyakarta, 2001.

M. Yusuf Musa, Nizām al-Hukmi fī al-Islām (terjemahan), Pustaka ISI, Yogyakarta, 1991.

Mohtar Mas’oed, Kata Pengantar dalam Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.

Muhammad Sobary, “Dialog Intern Islam: Ukhuwah Islamiyah”, Paramadina, Jakarta, 1998.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, UI Press, Jakarta, 1993.

Yusdani. “Pemikiran Politik Ali Abd. Al-Raziq” dalam jurnal al-Mawarid edisi ke-6 tahun 1998, Fak. Syari’ah UII, Yogyakarta.



[1] Mahasiswa Semester II, BKU HTN/HAN, Angkatan 19 Pada Program Pascasarjana (Magister) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Tahun Akademik 2007/ 2008. Nomor Mahasiswa : 07912277

[2] Hamim Ilyas (Ed). “Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal As-Syir’ah No. 8 tahun 2001, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hlm. 1.

[3] Abul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 29.

[4] M. ‘Abid al-Jabiri, “Agama, Negara, dan Penerapan Syariah”, Terjemahan dari Al-Dīn wa al-Daulah wa al-Tatbīq al-Syarī’ah, Fajar Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm. 2.

[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, UI Press, Jakarta, 1993, hlm. 1 - 2.

[6] Lihat Khoiruddin, Nasution, “Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin” dalam jurnal al-Mawarid edisi ke-6 tahun 1998, Fak. Syari’ah UII, Yogyakarta, hlm. 104.

[7] Lebih lanjut baca Yusdani. “Pemikiran Politik Ali Abd. Al-Raziq” dalam jurnal al-Mawarid edisi ke-6 tahun 1998, Fak. Syari’ah UII, Yogyakarta, hlm. 94.

[8] Dibuktikan dengan magnum opusnya Muqaddimah Ibn Khaldun yang merupakan kitab sosiologi dan banyak membahas tentang sosio-kultur masyarakat. Lihat A Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 142 - 185.

[9] GK Hall an CO,“Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam”. Terjemahan dari Ibnu Khaldun and Islamic Thought Style: A Social Perspective, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989, hlm. 47.

[10] M. Yusuf Musa, politik dan Negara dalam islam (Nizām al-Hukmi fī al-Islām) (terjemahan), Pustaka ISI, Yogyakarta, 1991, hlm. 72, Lihat juga Munawir Sjadzali, Op. cit. hlm. 106-107.

[11] Munawir Sjadzali, Op. cit. hlm. 103-104.

[12] A Rahman Zainudin, Kekuasaan dan Negara; ……Op.Cit, hlm. 159 - 162.

[13] Ibid, hlm. 164 - 177.

[14] Ibid, hlm. 180 - 185.

[15] J. Sayuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 279 - 280.

[16] Ibid

[17] Mohtar Mas’oed, Kata Pengantar dalam Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. x.

[18] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 66.

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21] Muhammad Sobary, “Dialog Intern Islam: Ukhuwah Islamiyah”, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm. 74.