LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF:
TINJAUAN FILSAFAT ILMU
Oleh
Rizal Mustansyir[*]
ABSTRACT
Discourse on progressive law has been very interesting in academic atmosphere recently. There is any assumption that law for human being and no vice versa, it makes clearer that the progressive law which contradicts with the positive law tend to be formalistic. Distrust to
Keywords: progressive law, Philosophy of Science and philosophical assumption
A. PENDAHULUAN
Gagasan selalu berkembang lebih cepat daripada kenyataan yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi hukum progresif sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang terjadi di Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang dianggap powerless, tak berdaya mengantisipasi kejahatan, maka muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa hukum progresif.
Kendati gagasan tentang hukum progresif baru dikumandangkan beberapa pakar hukum di Indonesia, di antaranya oleh Satjipto Rahardjo, namun tanggapan cukup meluas di kalangan masyarakat ilmiah, bahkan masyarakat awam. Alasannya cukup sederhana; pertama, kejahatan sistemik yang melanda Indonesia semisal korupsi telah menimbulkan dampak luas, sehingga korupsi ditahbiskan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) bagi kehidupan bangsa. Untuk itu masyarakat membutuhkan perangkat hukum yang dipandang adekuat untuk mengatasi kejahatan tersebut. Kedua, gagasan tentang hukum progresif belum lagi merupakan teori yang mapan (established theory), sehingga lebih mudah dibicarakan pada tataran wacana (discourse) yang mengundang masukan dari berbagai pakar, tidak hanya pakar hukum, melainkan juga pakar dari berbagi disiplin ilmu. Ketiga, setiap manusia pasti memiliki idealisme yang tinggi untuk meraih sesuatu, hukum progresif memenuhi persyaratan idealisasi, karena sangat menyentuh hasrat atau keinginan manusia akan keadilan (will to justice).
Berbagai alasan tentang kebutuhan atas hukum yang dapat mengatasi semua problema hukum cenderung bersifat das Sollen, perihal seharusnya ketimbang das Sein, perihal senyatanya. Namun das Sollen sangat dibutuhkan manusia, karena terkait dengan dimensi moralitas. Hukum adalah persoalan manusia yang berujung pada titik omega berupa keadilan, sedangkan keadilan itu sendiri merupakan salah satu wajah ideal dari moral. Dengan demikian hukum harus terkait dengan moral, manakala diinginkan untuk memiliki kekuatan yang mengikat sekaligus membangkitkan kesadaran manusia tentang substansi hukum. Kesadaran manusia merupakan mikro kosmos dari jagad raya hukum. Sedahsyat apa pun aturan dibuat, tanpa didorong oleh kesadaran si pelaku, maka hukum hanya menjadi lembaran dokumen tanpa ruh.
B. PEMBAHASAN
1. Asumsi Hukum Progresif
Satu pemikiran ilmiah lazimnya berangkat dari persoalan (problem). Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Satu penelitian ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk dipecahkan oleh seorang peneliti atau ilmuwan. Masalah bisa ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca, sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiousity) yang lebih besar terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas satu fokus permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa (ordinary) oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih dahulu. Acapkali permasalahan timbul lantaran teori yang ada dipandang tak mampu memecahkan–minimal tidak memuaskan—problem kongkret di masyarakat. Demikian pula halnya dalam hukum progresif, hal terakhir inilah yang paling menonjol ketika teori hukum yang ada dipandang tidak lagi memadai untuk mengatasi problem hukum di masyarakat.
Salah satu problem hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sulit untuk diatasi adalah korupsi. Magnis Suseno, salah seorang pakar Filsafat Sosial, menengarai bahwa korupsi tidak berkurang pasca kejatuhan Orde Baru, karena sewaktu Soeharto berkuasa ia masih mampu mendisiplinkan para bawahannya. Namun ketika Soeharto jatuh, sifat asli mereka semakin kelihatan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan menggunakan kesempatan untuk merampok harta negara sebanyak mungkin (Magnis-Suseno, 2003).
Satjipto Rahardjo (2004) menegaskan bahwa tindakan pro-aktif aparat kejaksaan untuk mengungkap kasus korupsi sangat dinantikan masyarakat. Selain membutuhkan jaksa yang berani, Indonesia juga membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Tuntutan kebutuhan akan hukum progresif sebagaimana yang ditengarai oleh Satjipto Rahardjo berangkat dari kekecewaan masyarakat atas ketidakmampuan aparat hukum untuk meminimalisasikan tinmdak pidana korupsi yang dijuluki sebagai extra ordinary crime (Yudoyono, 2005). Muladi bahkan melihat korupsi tidak lagi sebagai local matter tetapi sudah merupakan fenomena transnasional yang dapat mempengaruhi kehidupan internasional, sehingga dibutuhkan kerja sama internasional untuk mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner (Muladi, 2004). Bayangkan saja tokoh masyarakat yang juga ilmuwan profesional seperti panitia KPU saja terlibat dalam masalah korupsi. Anggota DPR yang dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat, malah melukai hati rakyat dengan perilaku korupsi.
Kebutuhan akan hukum progresif dengan pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner merupakan kata kunci untuk memahami asumsi yang ada di balik hukum progresif itu sendiri. Paling tidak ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam hukum progresif. Pertama, Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Kalau terjadi permasalahan di bidang hukum, maka hukum harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Kedua, Hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) (Satjipto Rahardjo, 2005).
2. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori lain
Sebuah artikel (www.antikorupsi.org) yang berjudul Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan kebersinggungan hukum progresif dengan beberapa teori. Pertama, teori hukum responsif dengan tokohnya Nonet & Selznick yang menginginkan agar hukum peka terhadap setiap perkembangan masyarakat. Salah satu ciri yang menonjol dari teori hukum responsif ini ialah menawarkan lebih dari sekadar procedural justice, namun lebih berorientasi pada keadilan dengan memperhatikan kepentingan umum. Teori ini lebih menekankan pada substantial justice. Persoalan keadilan lebih dipahami sebagai quid ius, bukan quid iuris.
Kedua, teori hukum realis atau legal realism yang ditokohi Oliver Wendell Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of the law has not been logic; it has been experience”. Bahwasanya hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman. Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan lebih dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum. Pemahaman atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui dokumen hukum.
Ketiga, sociological jurisprudence yang ditokohi Roscoe Pound mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi juga melihat efek dan bekerjanya hukum (law as a tool for social engineering). Hukum merupakan alat rekayasa sosial.
Keempat, hukum alam (natural law) yang memberi penjelasan tentang hal-hal yang meta-juridical atau sesuatu di balik hukum. Hukum alam memandang hukum tidak terlepas dari nilai-nilai moral yang bersifat transendental.
Kelima, studi hukum kritis (critical legal studies) yang ditokohi Roberto M. Unger. Mazhab ini tidak puas dengan hukum modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan studi hukum kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum moderen dan menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang satu praktek politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah kritik terhadap formalisme dan objektivisme (Unger, 1999: xxv).
Pengaitan hukum progresif dengan kelima teori hukum pendahulunya ini cukup beralasan (Rationis sufficientis), karena dinamika masyarakat yang ditangkap oleh berbagai teori hukum yang telah mengemuka tentu mengalami perubahan yang signifikan. Di samping itu sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya dipandang sebagai bentuk kebenaran sementara (meminjam prinsip Falsifiable Karl Popper) sebelum ditemukan teori lain yang dipandang lebih sophiticated. Kesadaran akan hukum sebagai sebuah proses untuk terus menjadi, melahirkan kesadaran baru bahwa hukum harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat ular yang terus berganti kulit, maka diperlukan keterbukaan wawasan dari para pakar hukum untuk terus melangkah ke arah idealisme hukum dan melawan bentuk kemandegan hukum dan pendewaan atas berhala teoritis dalam panggung ilmiah (Francis Bacon menyebutnya dengan istilah Idola Theatri).
3. Landasan Filosofis Hukum Progresif
Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran Imre Lakatos (Chalmers, 1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai “teori” merupakan kumpulan yang sesungguhnya rapuh, berbeda dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan umum atau yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard core). Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam program ini akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di belakang suatu sabuk pelindung ( a protective belt) dari hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada tataran wacana. Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable disini meminjam istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami pengukuhan (corroboration).
Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk hukum, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum, sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial. Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu, sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah.
Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik --dalam istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif—lebih mendominasi bidang hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku – dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang-undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi. Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah. Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah. Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48). Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.
Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori Nilai menurut Runes (1972:32) adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif harus dipandang secara objektif-rasionalistik.
Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum positivistik-- harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka-angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct. Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu pula terma “kejahatan” (criminal) tidak ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan dalam kehidupan manusia.
Ilmu selalu memiliki kepentingan, ujar Habermas. Ia menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan. (1971:313). Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain).
Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah, dan lain-lain.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas tentang hukum progresif yang ditinjau dari perspektif filosofis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama; terlalu dini untuk mengatakan bahwa hukum progresif itu sebagai sebuah teori, karena syarat bagi sebuah teori, yakni sudah melalui pengujian metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah, belum lagi dipenuhi. Kedua, hukum progresif sebagai sebuah wacana cukup menarik minat dan perhatian masyarakat ilmiah, karena semangat pembaharuan dan pengembangan atas teori hukum yang selama ini berlaku, namun dianggap tidak mampu mengatasi persoalan hukum yang ada di masyarakat Indonesia. Ketiga, hukum progresif dapat berkembang menjadi sebuah teori hukum (tidak sekadar sebagai gerakan atau trend) apabila diletakkan dalam kerangka Scientific Research Program, program riset ilmiah dengan menemukan inti pokok program (hard core) yang terlindungi dari berbagai bentuk kesalahan (falsifiable). Keempat, hukum progresif sebagai sebuah gerakan/aliran/mazhab dapat terus dikembangkan, dengan syarat memiliki visi dan misi yang jelas. Sebab gerakan tanpa visi dan misi yang jelas, meskipun idenya bagus, pasti akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Kelima, landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi hukum progresif perlu dikembangkan agar warna ilmiah-filosofisnya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and Row Publishers, Albuquerque.
Chalmers, A.F., 1983, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called Science?, Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston.
Magnis Suseno., 2003, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Muladi, 2004, “Substantive Highlights’s dari Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi”, dalam Seminar Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 6-7 Mei 2004.
Satjipto Rahardjo., 2004, “Kejaksaan Segeralah Bertindak”, dalam KOMPAS, 2 Oktober, 2004.
Satjipto Rahardjo., 2005 “Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP.
Susilo Bambang Yudoyono, 2005, Pidato disampaikan dalam Rapat Koordinasi tentang Percepatan Penanganan TPK antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, Jakarta, 7 Maret, 2005.
Unger, Roberto M., 1999, Gerakan Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
[*] Rizal Mustansyir, staf pengajar pada Fakultas Filsafat UGM dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, Filsafat Bahasa, Hermeneutika, Aksiologi Ilmu.