MENGGAGAS PEMBAHARUAN HUKUM

MELALUI STUDI HUKUM KRITIS

Faisal

Ketua Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

A. Pendahuluan

Pencermatan mengenai bagaimanakah kondisi hukum seutuhnya yang terjadi di seputaran kita selalu mengusik dalam setiap perenungannya. Dalam suasana keterpurukan seperti sekarang ini kita terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar, seperti; kita bernegara hukum untuk apa? Apakah hukum itu hanya semata-mata untuk mengatur masyarakat atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?. Tulisan ini ingin mengajak pembaca berpikir bahwa pada akhirnya pengaturan oleh hukum tidak sah semata-mata memenuhi agenda keadilan prosedural, tetapi karena mengejar suatu tujuan dan cita-cita tertentu; yaitu meletakkan hukum pada ruang sosial yang lebih luas.

Formalisme hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya penegakan hukum. Akibatnya muncul gelombang perasaan ketidakpuasan masyarakat yang berpuncak saat bangsa ini hendak melakukan reformasi di bidang hukum. Kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ditengarai oleh sikap positivistik dalam memaknai negara hukum. Rusaklah negara hukum kita dan celakalah bangsa kita bila negara hukum sudah direduksi menjadi “negara undang-undang” dan lebih celaka lagi manakala ia kian merosot menjadi “negara prosedur”. Apabila negara hukum itu sudah dibaca oleh pelaku dan penegak hukum sebagai negara undang-undang dan negara prosedur, maka negeri ini sedang mengalami kemerosotan serius. Sekalipun memiliki sejumlah peraturan perundangan yang secara sistematik telah mapan, sadar apa tidak peraturan perundangan itu suatu saat hanya akan menjadi kumpulan kertas yang tidak memiliki daya mengikat terhadap masyarakat, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.

Kerisauan dan kegalauan di atas menjadi pijakan berpikir dalam perenungan panjang untuk menentukan gagasan pembaruan hukum melalui studi hukum kritis yang berbasis progresif. Pembaruan hukum merupakan wujud imajinasi sebuah kesadaran baru yang menggeluti sebuah wilayah konseptual yang sangat luas. Di sana berbagai motivasi dan konsep pembaruan akan berkelit-kelindan yang menunjukkan tempat pembaruan hukum Indonesia saat ini.

Manakala proses pembaruan hukum demi terwujudnya kesadaran baru-tanpa bisa diingkari-merupakan bagian dari proses politik yang progresif dan reformatif. Di sini hukum dapat difungsikan sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat (tool of social engineering), entah yang diefektifkan lewat proses-proses yudisial atau yang diefektifkan melalui proses legislatif. Seperti apa yang dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (2007:95) mengatakan dalam fungsinya yang reformatif sebagai tool of social engineering itu, pembaruan hukum acapkali hanya diperbincangkan sebagai legal reform. Secara harfiah legal reform berarti pembaruan dalam sistem perundangan-undangan belaka. Kata legal berasal dari kata lege yang berarti ‘undang-undang’ alias materi hukum yang secara khusus telah dibentuk menjadi aturan-aturan yang telah dipastikan/dipositifkan sebagai aturan hukum yang berlaku secara formal. Dengan demikian, pembaruan hukum akan berlangsung sebagai aktivitas legislatif yang umumnya melibatkan pemikiran-pemikiran kaum politis dan/atau sejauh-jauhnya juga pemikiran para elit profesional yang memiliki akses lobi.

Bergeraknya proses pembaruan hukum yang membatasi perbincangannya pada pembaruan norma-norma positif perundang-undangan saja, membuktikan masih kokohnya watak keras positivisme hukum dalam pembangunan hukum kita saat ini. Alam pemikiran positivisme hukum menjadi jalan kelam masa depan legal reform, serta membuat hukum terisolasi dari dimensi sosial-masyarakat. Lantas tak heran, ketika fungsi legislasi sebagai pintu awal pembaruan hukum lebih sering mengedepankan konflik kepentingan politik melalui dalih-dalih prosedur legislasi dari pada mencerminkan dialektika subtansial.

Dalam konteks membebaskan hukum dari tawanan paham positivistik seperti itu, tulisan ini mengajak untuk mempertimbangkan gagasan melalui critical legal studies (“selanjutnya disingkat CLS” atau studi hukum kritis), yang berkembang di Amerika Serikat, dapat menjadi pijakan alternatif dari kemandegan pembaruan hukum Indonesia saat ini. CLS yang muncul dengan menentang habis-habisan pandangan dasar postivisme hukum yang merupakan doktrin hukum liberal; tentang netralitas, kemurnian dan otonomi hukum. CLS mengecam doktrin tersebut dengan menyebutnya tak lebih sebagai mitos belaka, karena dalam kenyataannya hukum tidak bekerja dalam ruang hampa, namun sangat ketat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dimensi sosialnya. Satjipto Rahardjo (2007:169)

B. Agenda Membebaskan Hukum

Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Berawal, dari pesan pendek dari Satjipto Rahardjo; yang menjelaskan bagaimana memahami hukum sebagai relasi sosial selayaknya mewakili ekspresi kepentingan masyarakat.

Menjalankan hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan berpikir, karena orang lebih banyak membaca huruf undang-undang daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam. Ini adalah rumusan kualitatif dari pengalaman empirik selama ini, seperti upaya menjalankan supremasi hukum, menangani koruptor-koruptor kelas kakap seperti terbebas dari jangkauan hukum, belum lagi pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia menikmati kebebasan dari hukuman; dan pemandangan kelam parodi lainnya. Alih-alih memberi kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyat, supremasi hukum malah kehilangan pesonanya sebagai institusi keadilan.

Maka kesempatan untuk merenungkan apakah yang mendasari hukum telah mengalami degradasi cita-cita sosialnya. Kita memang seperti berkejaran dengan waktu, sehingga skeptis memikirkan soal yang lebih mendasar itu. Masalahnya barangkali terletak di sini, yakni pada paradigma hukum atau cara pandang yang selama ini mendasari praktik hukum kita. Paradigma positivisme yang selama ini menjadi ‘kaca mata’ kita dalam membaca realitas hukum barangkali sudah kehilangan relevansinya dalam menjawab problem sosial saat ini. Akibatnya kita memberikan jawaban dan solusi yang keliru pula. Pemeriksaan kembali secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-pandangan kita selama ini mau tidak mau sepertinya harus dilakukan. Sudah saatnya masalah ini tidak membelenggu paradigma penegak hukum kita yang cenderung postivistik dalam penerapannya.

Seperti diketahui, kajian hukum di Indonesia yang secara geneologis berasal dari tradisi hukum Eropa Kontinental atau civil law (masuk melalui kolonial Belanda), berkembang di bawah bayang-bayang paradigma positivisme. Paradigma ini sebetulnya berasal dari filsafat positivisme August Comte (1798-1857). Positivisme merupakan paham yang menuntut agar setiap metedologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.

Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum, sebagaimana dianut pemikir hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai asas moral meta-yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.

Masuknya arus utama aliran positivisme hukum itu ke bumi Indonesia, dalam perkembangannya menjadi saham pemikiran yang dominan. Positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan atau penyatuan hukum. Dinyatakan oleh Anthon F. Susanto (2008:80) bahwa positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli kontrak sosial yang formal melalui pemberlakuan atau pemberdayaan hukum positif.

Seakan-akan paradigma positivisme hukum dalam perjalanannya tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Kuhn sebagai anomaly; menjadi heran ia terus relevan digunakan untuk memandang atau membaca realitas hukum saat ini. Bukannya paradigma postivisme hukum memahami realitas hanya cenderung menggunakan teks-teks formal secara kaku. Dengan menekankan pada konteks tersebut, aliran hukum Critical Legal Studies Movement (Gerakan Studi Hukum Kritis) akan menampilkan pemikiran hukum yang menjadi oposisi dari paradigma postivisme hukum yang sedemikian dominan.

Gerakan CLS sudah menggejala pada tahun 1970an di Amerika Serikat, sebagai arus pemikiran hukum yang tidak puas dan menentang paradigma hukum liberal yang sudah mapan dalam studi-studi hukum atau jurisprudence. Dengan menengok pada perkembangan jurisprudence di tempat lain, wacana ingin mengajak melihat secara kritis permasalahan hukum di Indonesia, terutama dengan mengajak membebaskan kajian-kajian pembaruan hukum dari paradigma otorianisme kaum positivis yang sangat elitis.

Sebagai topik awal perhatian, CLS mengalihkan alur berpikir normologik ke arah nomologik, Ifdhal Kasim (1999:27). Sehingga pembacaan terhadap proses pembaruan hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak sebatas merubah/membuat sejumlah pasal dan ayat dalam undang-undang, lebih jauh gagasan pembaruan hukum juga mengena pada dasar-dasar paradigmatiknya. Sebagaimana analisis CLS, tidak semata-mata bertumpu pada teks, tetapi juga mengarahkan analisisnya pada konteks dimana hukum itu eksis, dan melihat hubungan kausal antara teks (doktrin hukum) dengan realitas.

C. Manifesto Studi Hukum Kritis; Kritik Terhadap Doktrin Hukum Liberal

Studi hukum kritis (critical legal studies) ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam dekade 1960an. Berawal dari sebuah pertemuan kecil di Wisconsin-Madison ‘Amerika Serikat’, bertepatan dengan diselenggarakannya Conference on Critical Legal Studies pada tahun 1977, medeklarasikan gagasan kritis sebagai sebuah gerakan penolakan status quo dan determinasi keberpihakan hukum terhadap politik. Meskipun gerakan-gerakan tersebut bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan pemikiran doktrin hukum liberal, yang menurut mereka hanya sedikit sekali bisa digunakan untuk menjawab masalah-masalah keresahan sosial dan politik.

Melalui Roberto M. Unger, sebagai tokoh terdepan gerakan studi hukum kritis, mengenalkan diskursus ini sebagai suatu gerakan pemikiran dan wacana berwatak ‘progresif’, yang merasa tidak puas dengan kemapanan tradisi hukum liberal, dan ia berusaha menemukan pendekatan baru untuk menjelaskan peranan dan bekerjanya hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Yang dimaksud doktrin hukum liberal disini, ialah teori-teori hukum yang berakar dari tradisi pencerahan yang memisahkan hukum dari politik dan otonomi atau netralitas proses hukum dari intervensi politik, sehingga dilukiskan seolah-olah proses pembentukan hukum, pembaruan hukum, dan penegakan hukum terlepas dari nilai-nilai sosial, ekonomi, dan kompetensi dalam arena politik.

Menurut kalangan gerakan CLS, doktrin atau asas-asas hukum liberal itu tidak lebih dari suatu mitos saja. Karena, tidak dikonstruksikan oleh teorinya, proses-proses hukum bekerja bukan di ruang hampa melainkan bekerja dalam realitas yang tidak netral dan nilai yang ada dibelakangnya adalah subyektif. Maka dari itu, paraktik jurisprudence hukum liberal gagal menangani isu-isu seperti diskriminasi ras dan gender, ketidakadilan, kemiskinan, serta penindasan dan seterusnya.

Dalam kenyataannya bahwa CLS telah menjadi gerakan politik, karena ia ikut memprakarsai perubahan politik yang radikal. Maka, ketika hukum menciut ke dalam bidang politik, antara hukum dan politik sudah benar-benar menyatu yang tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Pada konteks yang lebih riil, penganut CLS percaya bahwa logika politik dan struktur hukum muncul dari adanya power relationships dalam masyarakat. Keberadaan hukum adalah untuk mendukung (support) kepentingan-kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini, maka mereka yang kaya dan kuat, menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat sebagai cara mempertahankan kedudukannya, Satjipto Rahardjo (2006:53). Karenanya di dalam Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School dikatakan, hukum sekedar diperlakukan sebagai a collection of beliefs. Maksudnya diartikan sebagai seperangkat keyakinan-keyakinan yang digunakan sebagai alat pengendali tertib sosial. Munir Fuady (2003:5).

Bertolak dari itu maka dapat diketahui bahwa, ide dasar studi hukum kritis adalah hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, dan hukum tidaklah netral dan bebas nilai. Dengan perkataan lain, dalam pandangan studi hukum kritis, hukum di dalam kebijakan formulasi sebagai bentuk dari pembaruan hukum, hingga pada ranah kebijakan aplikasinya selalu mengandung pemihakan-pemihakan, sekalipun doktrin hukum liberal dibentuk keyakinan akan kenetralan, obyektifitas, prediktabilitas dalam hukum. Bahkan keberpihakan hukum pada kekuatan yang lebih dominan bisa terjadi karena sesungguhnya basis sosial hukum penuh dengan hubungan yang kompleks, tidak kaku, bahkan bisa mengarah pada keadaan tidak seimbang. Seperti apa yang dikatakan oleh Charles Sampford, apa yang di permukaan tampak teratur, tertib, jelas dan pasti sebenarnya adalah ketidakteraturan (disorder).

Pada tulisan I Nyoman Nurjaya (2008;168), mengatakan kritik kalangan pengikut CLS terhadap doktrin hukum liberal, bahwa doktrin tersebut bersifat incoherent, internally inconsistent, dan self-contradictory dengan kenyataan yang ada, karena proses-proses hukum bekerja tidak seperti dikonstruksikan oleh doktrin hukum liberal sebagai netral, objektif dan otonom dari proses-proses politik yang berlangsung dalam masyarakat dan kehidupan bernegara. Tetapi, justru yang terjadi sebaliknya, hukum bekerja dalam realitas yang tak netral dan nilai yang melekat di belakang hukum bersifat subyektif. Karena itu, terjadi inkonsistensi secara internal dalam struktur doktrin hukum liberal, yang tidak memberi penjelasan dan pemahaman yang koheren atau sesuai dengan kenyataan masyarakat. Dalam konteks ini, manifesto studi hukum kritis menegaskan bahwa doktrin hukum liberal membuat kita tidak mampu menjelaskan dan memahami secara koheren hubungan antara hukum dengan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Sehingga konklusi yang dapat diterjemahkan oleh gerakan studi hukum kritis, bahwa doktrin hukum liberal dipandang sebagai mitos belaka.

D. Pembaruan Hukum Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis

Pembaruan hukum sangat erat sekali dengan kebijakan politik hukum, dalam rangka pembangunan hukum nasional, meletakkan kebijakan pembaruan sebagai suatu pernyataan kehendak negara mengenai arah perkembangan hukum yang ingin dibangun pada masa yang akan datang (ius constituendum). Kebijakan pembaruan hukum tidak akan terlepas dari ruang lingkup politik, karena pembaruan ini dibangun atas dasar kepentingan publik, melalui keterwakilan aparatur negara berdasarkan otoritas politiknya. Dengan demikian, proses kebijakan pembaruan hukum menjadi sangat rentan dari pengaruh prosedur dan pilihan-pilihan legislatif, yang menjadi bagian dari sistem pembuatan hukum yang sarat nilai karena melibatkan proses perebutan kepentingan dalam masyarakat.

Maka, menyadari realitas sebagaimana yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, hukum dapat diakui sebagai subsistem yang tanpa terelakkan akan berhimpit struktur dengan subsistem politik, kemudian juga dengan subsistem sosio-kultural. Hukum tidak hanya bertumpu pada segi-segi doktrinal semata, yang mengandalkan metode deduktif (melalui silogisme logika formal), tetapi juga mempertimbangkan faktor nondoktrinal seperti; pengaruh faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam proses pembaruan hukum.

Pembaruan hukum dalam perspektif studi hukum kritis, dengan mengutip pendapat Duncan Kennedy melalui metode “elektis”nya lebih memberi perhatian pada upaya bagaimana mengungkapkan doktrin hukum yang diciptakan dan bagaimana ia berfungsi mensahkan suatu sistem sosial tertentu. Artinya, sebelum melakukan analisis hukum diperlukan pemahaman yang memadai mengenai segi subtansi dan doktrinal hukum atau yang disebut “internal relation”, kemudian baru dikaitkan dengan realitas hubungan sosial, ekonomi dan politik yang disebut “external relation”. Jadi, terdapat perbedaan analitis antara subtansi dan struktur internal pemikiran hukum di satu pihak, dan variable-variabel di luar hukum yang kemungkinan bakal mempengaruhinya. Untuk memahami realitas hubungan sosial, politik dengan hukum, maka digunakan pendekatan elektis dengan mengaitkan segi internal relation dengan segi external relation.

Dengan demikian, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan resultante dari berbagai proses interaksi dan negosiasi berbagai kepentingan di antara faksi-faksi dalam masyarakat dan negara. Jadi, analisis untuk memahami pembaruan hukum haruslah diarahkan kepada realitas kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat. Metode analisis CLS sangat terbuka untuk digunakan mengkritisi fenomena pembaruan hukum yang berlangsung di Indonesia. Misal, dengan hadirnya Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dipandang sebagai produk hukum nasional pertama di bidang pengelolaan sumber daya alam. Selain Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi negara, UUPA juga menjadi dasar hukum pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang terwujud sebagai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam perspektif CLS pembaruan hukum semacam ini, yang disebutkan oleh Pasal 33 UUD 45 dan UUPA mencerminkan dominasi negara dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga mengabaikan keberadaan hak-hak masyarakat adat atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bukannnya masyarakat adat ada di tanah air Indonesia jauh sebelum adanya konstitusi negara ini. Akan tetapi, mengapa implementasi hak-hak masyarakat adat dibatasi dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Implikasi yang muncul kemudian selain pengabaian atas akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat juga pengabaian atas kenyataan kemajemukan hukum (pluralisme hukum), karena hukum negara menggiring ke arah individualisasi hak-hak komunal masyarakat adat, dan proses individulisasi tanah-tanah komunal menjadi komoditi bercorak komersial.

Dalam konteks sosial, kebijakan pembaruan hukum dalam upaya merancang sistem hukum yang baru, mesti berangkat dari kebutuhan-kebutuhan dan wajah empirik kemajemukan hukum bangsa. Karena kemajemukan hukum bangsa berujung pada kebutuhan hukum yang berbeda dan juga pengalaman hukum yang berbeda, penyajiannya harus sesuai dengan situasi empirik wajah sosio-kultural masyarakat Indonesia yang beranekaragam. Sehingga praktek terhadap gagasan-gagasan pembaruan hukum tersebut bisa dibumikan tanpa resistensi. Itulah kemudian, jika wacana pembaruan hukum hanya dimengerti membuat/mengubah pasal-pasal saja, kemudian juga hanya menggunakan pendekatan hukum, tanpa melibatkan pendekatan lain sebagai pertimbangan rasional dalam kebijakan pembaruan hukum. Artinya, gagasan pembaruan hukum Indonesia harus menyentuh wilayah paradigmatiknya, yang berangkat dari konsep dasar cita-cita hukum bangsa, sehingga kebijakan itu tidak menuju pada pemaksaan kaidah sosial masyarakat tertentu kepada masyarakat lain yang memiliki nilai dan kebutuhan hukum yang berbeda.

E. Simpulan

Gagasan tentang pembaruan hukum di Indonesia yang terutama bertujuan untuk membentuk suatu hukum nasional, tidaklah semata-mata bermaksud untuk mengadakan pembaruan (ansich), akan tetapi juga diwujudkan menuju pembaruan hukum yang berwatak progresif, yang mana kebijakan pembaruan hukum merupakan konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem-sistem nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan pembaruan hukum, atau sebaliknya. Layaknya apa yang telah di jelaskan oleh studi hukum kritis, bahwa memahami pembaruan hukum haruslah diarahkan kepada realitas kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat. Jika demikian, kerangka pembaruan hukum Indonesia, harus berlangsung atas dasar prinsip cita hukum bangsa yang selalu menjadi asas umum yang memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara. Sehingga hasil dari pembaruan hukum nasional tetap dapat menjaga/memelihara integritas bangsa baik secara ideologis maupun secara teritorial. Kemudian juga membuka jalan bahkan menjamin terciptanya keadilan sosial, sehingga negara dapat tampil secara demokratis.

Referensi

H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum “Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali”, Cet IV, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Ifdhal Kasim, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan ELSAM, Jakarta, 1999.

I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam “Dalam Perspektif Antropologi Hukum”, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2008.

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis “Paradigma Ketidakberdayaan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

_______________, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Buku Kompas, 2007.

Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Lihat Dony Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta, HuMa, 2007.

Tidak ada komentar: