POTRET SOSIOLOGI POLITIK MASYARAKAT

DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

A. Pendahuluan

Politik kontemporer, dalam praktiknya oleh kebanyakan orang dipahami sebagai sikap ambivalensi, terkadang dikutuk tetapi sekaligus diharapkan. Di satu sisi, perilaku politik dari hari ke hari kian rutin dimaknai sebagai cela ketimbang keluhuran. Perilaku politik dianggap sebagai potret dan asal-muasal kericuhan, dagang sapi, identik dengan perilaku tamak, licik, munafik, dan hanya sekedar retorik. Bagaimana tidak, jika diibaratkan politik sebagai tanaman kehidupan, maka buahnya ialah demokrasi yang kebablasan. Tidaklah berlebihan perumpamaan tadi, jika dihadapkan dengan beberapa sengketa pilkada ke belakang selama ini. Mobilisasi massa, unjuk rasa seputar pilkada masih menarik minat dan terus mendapat sokongan. Di berbagai daerah orang makin mudah dimobilisir untuk menolak atau mendukung ini dan itu, untuk menuntut perhatian mulai dari yang mengaku oposisi sampai pada kelompok-kelompok pendukung.

Setidaknya sudah berbagai orde politik kita lalui, mulai dari orde lama, orde baru dan terkini orde reformasi, tetapi belum juga menunjukkan perannya yang signifikan terhadap pertumbuhan demokrasi bangsa. Sebagaimana kontes politik pada saat ini menyiratkan keprihatinan kita bersama, di saat yang bersamaan aktor-aktor politik berlomba-lomba mendeklarasikan partai politiknya sebagai ancaman kompetisi di ajang berbagai pemilu. Pilihan politik saat ini, secara tegas telah menenggelamkan budaya politik orde baru yang bersifat sentralistik dan otoritarianisme. Dengan kata lain, di massa orde baru kekuasaan secara keras membatasi pikiran dan partisipasi, maka rakyat tidak begitu saja diberikan ruang untuk berpolitik.

Paradoks ini menciptakan dugaan bahwa seakan-akan perilaku politik dimaknai sebagai rutinitas kelembagaan dan perilaku aktor-aktornya. Inilah kontes politik yang sering kehilangan legitimasi dari rakyatnya, karena indikator perilaku politik diukur melalui insiden-insiden hasil, seperti; koruspi politik ‘jabatan birokrasi di DPR yang berkonotasi korupsi’, serta politik uang di setiap pemilu dan pilkada merupakan potret buram berlatar suram dari sosiologi politik masyarakat kita pada akhir-akhir ini. Rasionalisasi kesemerawutan kondisi bangsa saat ini, intinya akan berakhir pada sikap yang sama bahwa politik sebagai instrumen bahaya laten yang selalu menciptakan suasana dishumanisasi.

Kita memang sedang berada dalam konstruksi sosial yang ‘anti politik’. Lalu, mengapa perlu menjelaskan potret sosiologi politik masyarakat dalam konteks hak-hak asasi manusia? Apa yang salah dari cara berpolitik kita saat ini, sehingga dirasa perlu tulisan ini mengutarakan hubungan mata-rantai antara politik dan masyarakat, agar tetap berada pada jalur kearifan dan juga menjaga hak-hak dasar manusia.

Ketika berbicara potret perilaku politik masyarakat, tak luput juga dengan sikap ingin meluruskan pengertian politik yang selama ini ditafsirkan dalam olok-olok: “manusia adalah binatang politik”. Degradasi ini mewakili kondisi deskriptif politik kita sehari-hari, yaitu berpolitik berarti berperilaku tamak, licik dan kasar. Padahal paham yang sesungguhnya dari konsep zoon politikon adalah mulia, yaitu bahwa manusia adalah binatang (makhluk) yang berpolitik. Artinya, berbeda dengan binatang, manusia memiliki peralatan alamiah untuk mengorganisir diri guna mencapai hidup yang adil. Itulah politik. Karena itu “ilmu” tentang politik disebut sebagai ilmu yang paling utama (the highest of all sciences), karena politik merupakan urusan keadilan umum, melibatkan semua orang, dan untuk membahagiakan seluruh rakyat.[1] Preskripsi seperti inilah yang mesti dikembalikan dalam cara berpolitik kita.

Menjelaskan perilaku politik masyarakat tentu saja bukan sekadar upaya mengoreksi sebuah olok-olok, melainkan suatu upaya besar untuk menerangkan peristiwa-peristiwa kritis dalam sejarah orde politik, dan kemudian mencari dasar-dasar rasionalisasi untuk merawat kemanusiaan dan menghindari berulang-nya perendahan terhadap martabat manusia.[2]

Problem ini membawa kita pada soal yang amat mendasar dalam filsafat politik, yaitu masalah normativitas sebuah perilaku politik masyarakat; apakah kondisi sosio-psikologis yang perlu bagi penyelenggaraan sebuah kontes politik. Filsafat politik, oleh karenanya, merupakan pembacaan dan pencarian gagasan dalam kaitannya dengan moralitas publik. Pada akhirnya dalam menjelaskan perilaku politik masyarakat tidak bisa mengeyampingkan konsep tentang watak dan tujuan manusia itu sendiri. Dengan begitu, kita akan paham bahwa konsepsi manusia sebagai makhluk rasional memiliki kebebasan dan kehendak menentukan-dirinya, dan memiliki tujuan tertinggi yang lebih penting daripada proses sosial dan politik di mana dia terlibat.[3]

Mereduksi makna kebebasan yang merupakan bagian dari kebutuhan dasar sebuah masyarakat politik, tentu akan melahirkan sumber energi komunikasi antara tindakan dan argumentasi. Terbukti cara berpolitik kita tidak akan terlepas dari dialektika tindakan dan argumentasi sebagai bentuk kehendak politis. Hanya saja, kebebasan yang sudah ada bersama-sama pada watak dasar manusia dalam menyelenggarakan kontes politik, harus terwadahi melalui argumentasi sebagai tindakan warganegara. Artinya, tindakan untuk beragumentasi berlangsung dalam kesetaraan konstitusional. Dengan kata lain, kebebasan untuk melakukan tindakan dan argumentasi tetap menjaga serta menjamin kenyataan hak-hak dasar manusia secara konstitusional.

B. Sosiologi Politik dan Kearifan Nilai

Terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa embrio studi sosiologi sesungguhnya telah mulai sejak August Comte (1798-1857). Comte mencetuskan istilah “sosiologi” ini dalam bukunya yang terkenal cours de philosophie positivie jilid 4 untuk menunjukkan ilmu tentang masyarakat. Dengan menekankan makna ilmiah dari disiplin sosiologi pada ide mendasar yang menyatakan bahwa seseorang harus menggunakan metode-metode pengamatan yang di pakai ilmu-ilmu alam untuk mempelajari gejala-gejala sosial.[4] Selanjutnya perkembangan ilmu sosiologi, sejak akhir abad 19 mulai tumbuh pesat seiring dengan berkembangnya derivasi disiplin sosiologi, seperti; sosiologi hukum, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi politik dan sebagainya.

Secara sederhana sosiologi berarti studi mengenai masyarakat. Dalam lingkup masyarakat terdapat unit dasar sebagai analisa sosiologis, baik itu struktur politik, agama, ekonomi, dan hukum. Dalam ikhtiar untuk melakukan analisa pada konteks kemasyarakatan, para sosiolog modern dengan berbagai cara telah mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial, dan studi mengenai interaksi-interaksi manusia dan interrelasinya. Karena itu pusat perhatian sosiologi ialah tingkah-laku manusia dalam konteks sosial.[5]

Menempatkan sosiologi sebagai optik analisa terhadap ilmu politik tidak semudah yang kita duga. Jika sosiologi itu terutama memperhatikan tingkah-laku manusia dalam konteks masyarakat dan dalam hal ini mencakup segala-galanya, maka jelaslah ilmu politik itu hanya menempati beberapa aspek saja dari masyarakat. Terkadang politik hanya identik dengan lembaga-lembaga sosial seperti, badan legislatif, eksekutif, dan partai politik. Serta lebih khusus lagi bahwa perilaku politik terlihat dari cara bekerjanya politik melalui proses pemilihan legislatif dan eksekutif, maupun interaksi politik antar negara. Karena itu, akan semakin sulit bagi kita untuk menentukan batas-batas dan nilai-nilai ilmu politik, dan kemudian untuk memfokuskannya kedalam sosiologi politik.

Perhatian sentral dari ilmu politik adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu; atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu; atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat.[6] Setidaknya hal itu menjadi aktivitas dan tujuan politik. Namun tidak banyak orang membantah, bahwa politik ialah seni mempengaruhi dan selebihnya orientasi kekuasaan.

Jika sosiologi politik mempelajari mata-rantai antara politik dan masyarakat, dengan demikian secara konseptual basis sosio-politik menggunakan sosialisasi politik, partisipasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik dan pendidikan politik sebagai alat baca terhadap perilaku politik masyarakat.[7] Dimana konsep tersebut digunakan untuk membangun pengaruh, memperluas keterlibatan dalam sistem politik, penjaringan regenerasi kader politik, distribusi informasi secara merata dan sampai kepada pembelajaran politik.

Pada prinsipnya mempelajari tingkah-laku politik dan masyarakat tidak saja berangkat dari varian konsep di atas, kearifan nilai yang menjadi kultur masyarakat merupakan eksponen penting terbentuknya lembaga politik dan idelogi politik masyarakat. Kearfan nilai dapat dipahami sebagai alur atau peristiwa dalam kehidupan sosial. ‘Ada’ dalam politik bukan dunia keseluruhan, melainkan ‘ada’ atau situasi di wilayah sosial, dan ‘ada’ juga dalam arti kolektif. Situasi seperti ini menunjukkan kearifan nilai kolektifitas menjadi tradisi yang sejak lama berada dalam batas kesadaran dan menjadi pilihan hidup masyarakat kita. Sebaliknya, masyarakat barat sangat fanatik dengan kearifan nilai individualistik-nya, dan tidak sama dengan nilai yang kita miliki. Maka tidak heran, ketika perilaku politik pecah belah diterapkan pada masyarakat kita, cenderung situasi ini tidak akan bertahan lama, bila pada saat yang sama masyarakat kita sadar dan mau berubah berdasarkan kearifan nilai yang dimiliki.

C. Masyarakat dan Politik

Kehadiran politik dalam masyarakat dapat dilihat dari bermacam-macam sudut. Memandang dan memahami politik, tidak hanya dalam batas-batas ilmu politik itu sendiri. Jika diamati dalam konteks yang luas, politik itu tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Penempatan politik dalam konteks yang luas itu membawa kita kepada pembicaraan tentang perilaku politik dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan lebih khusus lagi masyarakat. Sesungguhnya dalam kehidupan berpolitik, faktor dan campur tangan manusia tidak pernah berhenti berkelebat, baik sebagai operator maupun sasarannya. Karena peranan manusia yang terus-menerus itu, kita perlu lebih memastikan, bahwa manusialah aktor penting di belakang kehidupan politik.

Oleh karena itu, kita akan memahami masyarakat yang memiliki peran dalam mempertahankan eksistensi politik. Bila demikian, peran yang dilakoni oleh setiap masyarakat tentu berangkat dari premis yang sama, bahwa faktor kepentingan menjadi agenda tindakan dan argumentasi kontes politik. Dibalik kepentingan tersimpan kehendak tingkat kebutuhan masyarakat, baik itu secara personal maupun kelompok. Sehingga pemenuhan kehendak akan membentuk peran berdasarkan temperatur tingkat kepentingan masing-masing. Sulit untuk tidak percaya, bahwa masyarakat sebenarnya dalam kesehariannya selalu berpolitik. Sehingga pergulatan antara masyarakat dan politik tidak dapat dihindarkan, sisanya adalah ungkapan kekecewaan terhadap espektasi politik. Dalam hal ini, perlu dipertegas tidak setiap masyarakat mempunyai cara pandang yang sama terhadap politik, baik itu politik secara normatif sampai cara bekerjanya politik di masyarakat. Semua itu dipahami jika kontes politik telah menciptakan ekspresi kebebasan, dan disitulah muncul sekat/jarak ideologis. Sebab cara berpolitik masyarakat akan selalu memiliki karakter dan ciri khas tersendiri.

Bagi masyarakat Barat, mungkin politik dianggap sebagai badly needed. Meski sering membuat kebebasan individu terbelenggu, kehadirannya senantiasa diperlukan. Tanpa politik, maka aturan-aturan kolektif sulit diperoleh. Sebagai zoon politicon, kehadiran politik sungguh diperlukan. Tapi deferensiasi peran dan struktur sudah tercipta sedemikian rupa, belenggu atau pengaruh politik dapat dikurangi hingga batas yang paling minimal. Mungkin dalam setiap pemilu saja terjadi fenomena politik secara massal. Itu pun tidak harus dilakukan oleh semua orang yang sudah memperoleh hak memilih. Kelihatannya, memilih atau tidak sudah menjadi hak asasi dari tiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Orang pun tidak terlalu mempersoalkan seberapa jauh politik berperan dalam masyarakat. Justru jika politik disalahgunakan masyarakat akan dengan mudah mengecamnya. Karena kedaulatan ada di tangan rakyat, mereka pula yang kelak akan menetukan arah politik selanjutnya.[8]

Hampir semua watak politik modern menyerahkan legitimasi kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi senjata pamungkas untuk membuat, menjalankan dan bahkan mematahkan/merobohkan manifestasi politik yang sengaja dibebankannya. Manifestasi politik merupakan tindakan dan argumentasi yang sengaja dibuat dan sengaja pula dijalankan sebagai wujud pilihan hidup berdemokrasi. Namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya, manakala skema-skema manifestasi politik itu sudah tidak sesuai lagi dengan cara berpolitik pada masyarakat tertentu.

Lalu, salahkah ketika masyarakat yang mencoba ingin meloloskan diri dari “belenggu” cara berpolitik yang berseberangan dengan keyakinannya. Keyakinan untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya baik dalam arti obyektif maupun sebaliknya. Situasi ini menunjukkan politik akan menampilkan ekspersi kebebasan dalam kemajemukan perbedaan. Seperti apa yang dituliskan dimuka, masyarakat adalah tempat berkelebatnya politik, maka faktor kebutuhan akan melahirkan varian kepentingan yang berbeda. Dibalik itu rupanya tersimpan kerumitan antara masyarakat dan politik, salah satunya cermin cara berpolitik yang berbeda dan menjadikan perilaku politik masyarakat terfragmentasi kepada kepentingan tertentu.

D. Relasi Politik dan Kebebasan

Kebebasan sebagai sesuatu yang fundamental dalam politik, keduanya memiliki relasi pengakuan terhadap keberadaannya. Bagi politik, tanpa adanya kebebasan tidak mungkin ada politik dan politik tanpa kebebasan sama sekali bukan politik. Dinamisasi antara politik dan kebebasan akan selalu berjalan, dan mungkin saja saling menuntut atau juga menunjukkan minatnya terhadap orde politik tertentu. Seperti yang kita ketahui, berbagai orde politik telah dilalui oleh negara ini, tetapi politik dan kebebasan memiliki ruang hidup sendiri. Sehingga impian bangsa ini semakin tidak sabar ingin melihat politik tidak lagi menjadi tawanan oleh penguasa pada jaman orde baru. Pada intinya memiliki cita-cita bersama untuk bebas menuju orde politik selanjutnya, yang menjamin hak-hak asasi manusia.

Tidak dapat dipungkiri, lahirnya orde politik reformasi terlihat adanya dinamisasi politik yang pesat di Indonesia. Tonggak penting yang mengawali secara dramatik dinamisasi tersebut yaitu jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama tigapuluh dua tahun.[9] Dari aspek politik cukup banyak perubahan yang terjadi selama ini. Betapa tidak, tirani kekuasaan pada masa orde baru membuat kehidupan demokrasi politik menjadi tawanan serta terkondisikan dengan instruksi penguasa. Sehingga jarang sekali kita dapat mendengar kritik dengan suara lantang yang ditujukan kepada pemerintah, hal ini disebabkan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum tidak dijamin pada waktu itu.

Insiden seperti ini justru membuat politik terbelenggu dengan kekuasaan yang absolut. Apa jadinya politik jika tidak diberikan ruang kebebasan? Jawaban ini telah kita rasakan bersama pada orde politik sebelumnya. Saat ini orde politik kita berusaha untuk mencari jati dirinya. Wajah politik modern yang selalu mengedepankan penghargaan terhadap hak asasi manusia, tetapi justru terkadang politik sering melahirkan pelanggaran kemanusiaan.

Pelanggaran hak asasi manusia terjadi dalam iklim demokrasi yang lebih berfokus pada hak, ketimbang kebebasan. Konsep hak asasi manusia yang demikian ini terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham “hak kodrat tradisonal” yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham “hak kodrat modern” yang lebih menekankan ide hak itu sendiri.[10] Pergeseran ini pada gilirannya mempengaruhi konsep dan praktik demokrasi itu sendiri. Kalau pada konsep tradisional yang terutama diwakili oleh Aristoteles, manusia di lihat sebagai makhluk sosial (zoon politikon), maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri, dan kebebasan hanya bermakna sejauh itu bermanfaat untuk memuaskan kepentingan diri sendiri.[11]

Konsep dan praktik demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia pada jalinan kelindan kebebasan satu sama lain, sementara paham modern lebih melihat hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan yang lain apalagi bersama.[12] Dalam konteks di atas, semakin intensnya kontes politik modern yang terbukanya katup kebebasan politik menyusul banyak terjadinya ketidakramahan kembali antara politik dan hak dasar kemanusiaan. Watak liberal sebagai taradisi asal paham politik modern adalah bentuk pendangkalan terhadap kearifan paham politik bangsa kita. Tentu kearifan ini, berangkat dari nilai kolektifitas, dimana memahami makna kebebasan disandarkan pada kesetaraan konstitusional. Artinya, kebebasan semestinya tidak saja dilihat sebagai bagian dari hak, melainkan sebagai ruang pemenuhan hak. Jika makna kebebasan tidak dipahami seperti itu, kebebasan bukan lagi kebebasan, melainkan terjadi kekacauan.

E. Kesadaran Cara Berpolitik “Progresif”

Berbagai fenomena cara berpolitik yang dihadapi bangsa ini, menunjukkan perkembangan yang makin kompleks, baik dalam ranah teoretis maupun ranah paraktis. Hal tersebut telah memacu perkembangan berbagai ide dan pandangan untuk menyikapinya. Desakan untuk menentukan secara sosiologis tentang bagaimana cara berpolitik kita saat ini menjadi lebih terasa manakala ketika melihat betapa politik itu semakin memegang peranan sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern.

Harus diakui kebelakangan ini, bahwa cukup banyak prestasi politik kita yang berjalan tidak memuaskan. Kemudian tidak jarang juga layar kaca, media cetak dan media elektronik tampil memberi kabar pada masyarakat luas mengenai kegagalan cara berpolitik kita selama ini. Kebijakan politik disisi lain tidak saja dapat diterima dengan tangan terbuka, terkadang hanya menjadi komoditi politik untuk dijadikan bahan cerita rakyat. Sudah menjadi kebiasaan ketika terjadi konflik politik, selalu masyarakat pada tingkat level bawah menjadi mesin konflik yang berkepanjangan. Sengketa pilkada maluku utara adalah satu dari sekian banyak konflik politik yang sampai detik ini tidak menemui jalan terang, hal ini disebabkan para elite politik dengan sengaja melakukan proses pembiaran terhadap konflik itu, agar gejolak yang terjadi dapat membuat kekacauan. Dalam hal ini diperlukan progresifitas dan kesadaran cara berpolitik, agar dapat menekan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan.

Kata kuncinya adalah berani tidak kita untuk membebaskan diri dari faham bahwa politik tidak hanya sekedar pemenuhan kepentingan dirinya sendiri, akan tetapi politik dapat menjamin interaksi sosial masyarakat menjadi humanis dengan penuh kesadaran bahwa kepentingan pemenuhan hak-hak dasar manusia adalah segalanya. Sehingga jika kita bertanya bagaimana moral politik ‘progresif’, kandungan nilai moral ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong politik untuk memberikan jalan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya.

Salah satu perwujudan moral tersebut adalah pada waktu dibicarakan kesadaran cara berpolitik sebagai kesinambungan antara melemahkan paham kepentingan untuk dirinya sendiri, kemudian di arahkan untuk membangun makna kebebasan yang disandarkan pada kesetaraan konstitusional. Moral politik ‘progresif’ ingin mendorong cara kita berpolitik tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan demokrasi politik yang lebih baik.

Salah satu cara berpolitik yang sangat merisaukan adalah ketika secara mutlak berpegangan pada peran kepentingan antagonis. Cara dan peran yang demikian itu merupakan hal yang banyak dilazimkan dalam kontes politik kita saat ini. Cara berpolitik tersebut hanya melihat manusia sebagai market politik atau selebihnya objek kepentingan. Di sinilah letak gagalnya potret perilaku politik masyarakat kita jika melihatnya dalam konteks hak asasi manusia.

Pada dasarnya, nilai-nilai hak asasi manusia dapat ditandai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (masyarakat). Keseimbangan antara aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan mengandung makna antara hak-hak perorangan (individu) di satu pihak dan hak-hak kemasyarakatan (sosial) di lain pihak.[13] Dengan perkataan lain, bagaimana bisa dapat diwujudkan keseimbangan antara keduanya jika bekerjanya politik hanya ditempatkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Kesadaran yang meliputi nilai progresifitas semestinya politik merupakan manifestasi dan sekaligus hadir sebagai pelestari hak-hak dasar manusia.

Jika kita berbicara pada ranah tipologi, maka kesadaran cara berpolitik ‘progresif’ dijalankan ke dalam tipe berpolitik dengan nurani. Cara berpolitik itu tidak hanya menggunakan rasio kepentingan, melainkan juga sarat dengan kenuranian. Di sinilah cara berpolitik kita akan dirasuki dengan rasa empati, kejujuran, komitmen dan keberanian. Dengan demikian maka kita akan berbicara nurani rakyat dalam ruang sosial yang lebih luas. Keadaan akan menjadi ideal manakala baik peran/aktor politik maupun sistemnya sama-sama progresif. Dengan pandangan ini, cara berpolitik kita dapat menampilkan makna arti yang progresif, jika politik itu hadir dapat menjaga keseimbangan antara hak kemanusiaan dan hak kemasyarakatan, dan bukan berarti sebaliknya.

F. Simpulan

Salah satu kerisauaan kita sebagai bangsa, yaitu terhadap kurangnya kesadaran cara kita berpolitik untuk turut memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara berpolitik yang menempatkan pemenuhan kepentingan untuk dirinya sendiri, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Selama ini, potret sosiologi politik yang demikian itu tidak mampu untuk memecahkan problem sosial. Suatu cara berpolitik yang berwatak progresif perlu dilakukan untuk menembus kemandegan. Maka bukan penglihatan yang harus ditutup atas potret politik masyarakat kita saat ini, melainkan secara progresifitas untuk menumbuhkan kesadaran berpolitik dengan nurani dan sekaligus hadir sebagai pelestari hak-hak asasi manusia.

Amar Abdullah Arfan, S.H.

Direktur Bidang Dinamika Politik dan Konstitusi

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Referensi

Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dalam Hukum Positif di Indonesia, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, 1992.

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik “Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern” Cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, IRE Press, Yogyakarta, 2005.

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Cet V, Rajawali Pers, Jakarta, 1995.

Robertus Robet, Kembalinya Politik “Pemikiran Politik Kontemporer Dari (A)rendt Sampai (Z)izek”, Cipta Lintas Wacana, Jakarta, 2008.

Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia, CIDESINDO, Jakarta, 1998.


[1] Robertus Robet, Kembalinya Politik “Pemikiran Politik Kontemporer Dari (A)rendt Sampai (Z)izek”, Cipta Lintas Wacana, Jakarta, 2008, hal viii-ix

[2] Ibid.

[3] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik “Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern” Cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 11.

[4] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal v.

[5] Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Cet V, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hal 1.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia, CIDESINDO, Jakarta, 1998, hal x.

[9] Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, IRE Press, Yogyakarta, 2005, hal 29.

[10] Robertus Robet, Kembalinya Politik…Op.,Cit. hal 4.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dalam Hukum Positif di Indonesia, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, 1992, hlm 89.

Tidak ada komentar: