PARADIGMA HUKUM PROGRESIF;

ALTERNATIF PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

A. Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagai sebuah upaya penataan ekonomi sebuah negara dapat ditelusuri dalam kurun waktu yang lama. Bahkan pemikiran-pemikiran Adam Smith yang disusun sejak abad ke-18 masih dijadikan rujukan bagi pembangunan ekonomi saat ini, khususnya negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis. Tetapi dalam penyelenggaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II yang melantakkan sebagian besar negara, terutama negara-negara Eropa. Setelah Perang Dunia II itulah, Eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan untuk menata kembali perekonomiannya. Instrumen pembangunan (atau tepatnya rekonstruksi) ini adalah program bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.[1]

Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak dijalankan setelah Perang Dunia II itu memiliki tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid, pertama, pembangunan dipakai sebagai alat untuk menyebarkan tata ekonomi tunggal dunia, dimana model ini mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Kedua, pembangunan juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang dianggap membahayakan kepentingan negara kapitalisme.[2]

Proyek pembangunan setelah Perang Dunia II sarat dengan capaian-capaian material dalam bidang ekonomi. Pembangunan dilukiskan sebagai sebuah proses menuju kemajuan material perekonomian, sehingga ukuran-ukuran keberhasilannya dilihat dari indikator semacam pertumbuhan akumulasi investasi dan tingkat konsumsi masyarakat. Dengan karakteristik semacam itu, negara-negara yang memiliki akumulasi modal dan ketahanan ekonomi yang mapan, akan semakin melakukan ekspansi ekonomi ke tiap-tiap negara yang berada pada zona Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga lebih diartikan sebagai negara-negara yang secara ekonomi masih miskin, atau negara-negara yang sedang berkembang. Konsep pembangunan Dunia Ketiga tentunya memiliki tingkat harapan tersendiri dalam memenuhi sektor pembangunan ekonominya, sehingga tidak dapat disetarakan dengan negara adikuasa yang telah berkembang dalam segala aspek.

Bagi negara-negara Dunia Ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional; sementara negara-negara adikuasa persoalannya adalah bagaimana secara sistematis dapat melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan.[3] Sehingga filsafat pembangunan seperti ini kerap disebut dengan istilah “fordisme”, yang merujuk kepada upaya terciptanya masyarakat dunia yang makmur berdasarkan maksimasi kegunaan tanpa batas, yang dibentuk melalui tiga elemen penting, yaitu rasionalitas, efesiensi, dan produksi/konsumsi massal.[4]

Tidak dapat dipungkiri filsafat pembangunan ekonomi Indonesia dalam pandangan dunia internasional, bahwa Indonesia menjadi perhitungan negara yang sedang berkembang serta identik dengan zona Dunia Ketiga. Pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia era Orde Baru memang cukup banyak mendatangkan perubahan. Salah satu diantaranya adalah dalam bentuk peningkatan pendapatan per kapita nasional. Bila pada tahun 1969 pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$ 70, maka berkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6,5 persen per tahun, pada tahun 1995 angka itu telah meningkat menjadi sekitar US$ 880, atau sekitar Rp. 2 juta per orang per tahun. Sejalan perkembangan waktu pendapatan pada sektor pertanian, jasa dan industri semakin seimbang.[5]

Tetapi bila dikaji lebih jauh, perjalan pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru yang mengesankan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan secara berarti, namun pada prospek jangka panjang menyisakan tangisan dan penderitaan ekonomi secara sistemik. Hal ini dapat di lihat krisis moneter yang bergejolak pada tahun 1998, serta diikuti dengan instabilitas politik menjadikan Indonesia menjadi negara yang mengalami krisis berkepanjangan, dan sampai hari ini dapat dirasakan dampak dari pembangunan ekonomi di bawah rezim Orde Baru. Salah satunya ialah, negara ini dipaksa melakukan penyesuaian dengan mekanisme pasar terhadap kenaikan harga minyak dunia. Tak heran ketika setiap waktu harga BBM (bahan bakar minyak) akan selalu naik, disamping Indonesia saat ini bukan lagi sebagai negara eksportir minyak, di lain hal sistem perekonomian yang masih terkesan hanya mengikuti poros mekanisme pasar, tanpa ada kontrol yang akuratif. Alhasil mental negara ini menjadi rapuh, kesenjagangan sosial makin terlihat tanpa batas, tingkat kriminalitas tiap tahun meningkat, serta yang lebih ironis lagi ketahanan pangan menjadi problem yang selalu menghantui.

Kemudian timbul suatu pertanyaan dimana peran hukum sebagai bentuk perwujudan instrumen regulasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia? Seharusnya hukum harus berperan untuk mengerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana. Disini hukum berperan aktif sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tol of social engineering). Artinya hukum dalam bidang kehidupan yang nyata harus lebih difungsikan sebagai sarana sosial kontrol dalam kehidupan masyarakat.[6] Jika asumsi pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya Indonesia disandarkan pada paradigma hukum progresif yang implementasinya responsif dan mendatangkan kemanfaatan sosial, tentunya alur berfikir pembangunan ekonomi Indonesia tidak serumit saat ini.

Tidak dapat dinafikan hukum progresif bukan instrumen ilmu ekonomi secara murni, akan tetapi prospek pembangunan ekonomi tentunya tidak terlepas dari mekanisme hukum dalam melakukan aktivitas ekonomi, yang hasil akhirnya dalam aspek hukum dapat memenuhi nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Maka paradigma hukum progresif dapat dijadikan batas apresiasi terhadap dinamika perkembangan arus globalisasi yang tidak saja terjadi pada sektor ekonomi dan tekhnologi, melainkan juga pada batas-batas tertentu, dan setiap negara terpaksa mengikuti arus globalisasi hukum sebagai bentuk penyesuaian terhadap pembangunan ekonomi melalui tujuan mekanisme pasar dan perdagangan internasional.

B. Fungsi & Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan negara ini ialah pancasila, yang dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa; hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Berdasarkan garis amanah konstitusi, maka makna pembangunan nasional harus mampu mereduksi nilai keseimbangan pada setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Sejak awal bangsa ini dihadapkan dengan tanggung jawab yang begitu besar, yaitu meneruskan perjuangan pasca penjajahan kolonialisme dalam bentuk pembangunan nasional pada setiap dimensi sosial masyarakat. Akan tetapi persoalannya apakah amanah yang mulia ini dapat begitu saja dijalankan dengan mudah. Mungkin hal ini tidak perlu dijawab, karena realitas kehidupan saat ini dapat menggambarkan potret Indonesia dalam menjalankan program pembangunan nasional pasca merdeka dari penjajahan tahun 1945.

Setidaknya dapat dijelaskan secara umum ada beberapa tahapan atau tingkatan pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai menjadi negara maju, yaitu tahap pertama, unifikasi dengan titik berat bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tahap kedua industrialisasi dengan fokus terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, kemudian tahap ketiga negara kesejahteraan dimana tugas negara terutama adalah perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.[7]

Dalam suatu negara program pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar pertumbuhan ekonomi semata, juga harus memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah akan mampu menarik lahirnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Dari berbagai studi mengenai hukum dan pembangunan dapat diketahui, setidaknnya program pembangunan harus memenuhi kualitas hukum yang kondusif bagi perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu stabilitas (stability), kalkulasi yang terencana (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan profesi hukum (the special development abilities of the lawyer).[8]

Stabilitas dan predictability adalah merupakan prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi. Predictability sangat berperan, terutama bagi negara-negara yang masyarakatnya baru memasuki hubungan-hubungan ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional mereka. Sedangkan prasyarat stabilitas berarti hukum berpotensi dan dapat menjaga keseimbangan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan akan tercermin dari proses hukum, persamaan dihadapan hukum, dan standar sikap/perlakuan pemerintah, dan lain-lain akan mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan mencegah campur tangan pemerintah yang terlalu dominan.[9]

Sedangkan pendidikan dan pengembangan profesi hukum merupakan sesuatu keharusan yang harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat berperan sebagai ahli hukum dalam pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi.

Berbicara mengenai fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan ekonomi terhadap hukum atau sebaliknya, pendekatan hukum terhadap ekonomi, yang lazim dikenal dengan analisis ekonomi terhadap hukum. Salah satu contoh konkrit bahwa adanya elaborasi keilmuan antar dua displin ilmu ekonomi dan hukum, ialah daya paksa arus globalisasi ekonomi yang memaksa instrumen hukum sebagai regulasi mekanisme ekonomi menyesuaikan diri terhadap perkembangan internasional, hal ini sering disebut dengan globalisasi hukum.

Sehingga materi muatan berbagai Undang-undang dan perjanjian-perjanjian sebagai sumber hukum positif harus mengadopsi kaedah-kaedah dan diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-batas negara, yang dilakukan melalui ratifikasi perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta kovenan-kovenan internasional, maupun hubungan-hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi ekonomi baru.

Pendekatan hukum ekonomi bersifat dan menggunakan pendekatan-pendekatan transnasional dan interdisipliner, dengan mengkhususkan diri pada hubungan-hubungan antara masalah-masalah ekonomi dan sosial nasional dan regional serta internasional secara integral. Atau dengan perkataan lain, pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus selaras dengan arah dan kebijakan politik ekonomi pembangunan dan politik hukum pembangunan serta politik pembangunan masyarakat secara intern dan transdisipliner secara holistik dan sistematik.[10]

Sehingga dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum ekonomi (economic law) merupakan bidang hukum yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat dan kepentingan umum (public interest) sekaligus. Untuk itu pendekatan ekonomi terhadap hukum, akan menjadi salah satu cara agar tidak terjadi ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dalam dan antar negara dengan negara lainnya baik secara nasional, regional dan internasional.[11]

Maka fungsi dan peran hukum dalam pembangunan dalam tahap legislasi nasional dimasa mendatang perlu memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis.

Oleh karenanya ahli hukum yang terlibat sebagai pembuat undang-undang harus mampu memadukan studi hukum dengan disiplin ilmu lainnya secara komprehensif, agar tertib sosial bagi berfungsinya hukum karena terjadinya perubahan sosial dan tata pergaulan antar kelompok masyarakat, negara, antar negara, baik itu taraf nasional, regional dan internasional yang dalam prosesnya dapat berjalan secara responsif terhadap prinsip keseimbangan kepentingan pembangunan yang progresif.

C. Arus Globalisasi & Masa Depan Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga

Revolusi industri dianggap sebagai tonggak lahirnya ekonomi global, yang tidak lagi memisahkan teori ekonomi sebagai acuan regulasi perekonomian negara. Teori ekonomi diposisikan hanya sebagai saksi perasan pemikiran sejarah yang dapat dilihat pada pasca Perang Dunia II dan berbagai keadaan yang berubah cepat, terutama dalam bidang perekonomian dunia yang menghilangkan sekat negara, bangsa serta kewilayahan. Revolusi teknologi informasi juga merupakan faktor pendukung utama perekonomian global atau biasa kita kenal dengan globalisasi.

Arus globalisasi juga memaksa peran pembangunan ekonomi Dunia Ketiga untuk lebih maju. Disamping itu, sumber daya alam yang dimiliki akan sangat berperan dalam melakukan pembangunan ekonomi, tinggal bagaimana manajemen sumber daya manusia yang dimiliki dapat melakukan pengelolaan terhadap aset produktif yang dapat mendukung pembangunan ekonomi setiap negara.

Fenomena arus globalisasi yang paling nyata, bagaimana negara-negara yang sedang berkembang pada Dunia Ketiga akan menjadi target kepentingan ekonomi negara adikuasa. Belum lagi, masalah ’gap’ (kesenjangan) yang semakin melebar antara negara-negara berkembang dan miskin dengan negara-negara maju maupun dengan Transnational Corporation (TNC). Upaya penghapusan kemiskinan (Poverty Alleviation) sebagaimana banyak dinyatakan secara retorik oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) kenyataannya hanyalah sikap mengelabuhi publik (kebohongan publik) secara terang-terangan, mengapa demikian? karena, dalam kenyataannya arah dan tujuan globalisasi dengan arah tujuan penghapusan kemiskinan sangatlah bertolak belakang, bukan saja bertolak belakang, tetapi juga berlawanan secara mendasar.[12]

Globalisasi adalah mengenai pembukaan pasar seluas luasnya di seluruh dunia melalui berbagai instrumen termasuk Bank Dunia, IMF, MNC, TNC, WTO, dan lembaga sejenis lainya, dan ”PASAR” tidak pernah memikirkan aspek sosial termasuk aspek perubahan pengaturan sumber daya manusia dan kecenderungannya justru hanya pada agenda penghapusan kemiskinan, penciptaan pasar untuk bagaimana menghasilkan profit dan profit, bukti paling jelas adalah liberalisasi sektor keuangan oleh IMF dan Bank Dunia pada tahun 1980an yang kini menjadi sebab utama krisis ekonomi, pelarian modal keluar negeri, serta beban utang meningkat tajam dan volatilitas keuangan tidak berkesudahan yang membangkrutkan bangsa-bangsa negara berkembang dan miskin hanya dalam hitungan hari.[13]

Kemudian dari regulasi dan berbagai kenyataan untuk memperjelas fakta permasalahan. Maka, berikut sederet masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga yang menjadi korban globalisasi hukum yang menyengsarakan, diantaranya Venezuela dengan krisis ekonominya yang terjadi akibat dari masuknya kepentingan globalisasi dengan alasan pasar bebas dan ”TANGAN TUHAN” atas mekanisme pasar yang mengaturnya. Krisis Venezuela terjadi sebab salah satu produsen terbesar minyak dunia ini dikuasai oleh perusahaan minyak Amerika, dan negara-negara Eropa. Seharusnya negara yang memiliki jutaan bahkan milyaran barel minyak ini harus lebih sejahtera, ternyata 80% penduduknya adalah masyarakat miskin, dan Hugo Chaves berpendapat bahwa kemakmuran akan dapat tercapai apabila perusahaan minyak dikelola sendiri bukan dikelola oleh pihak asing.[14]

Tidak jauh dari Venezuela negara tetangganya Meksiko juga mengalami hal yang sama barang kali lebih parah, IMF dan Bank Dunia mengatur kemudahan investasi lewat penanaman modal asing 100% penguasaan dan monopoli HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Dalam hal ini terkait dengan perdagangan dunia, yaitu berupa memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk dan Hak Cipta, maka berbagai barang temuan dapat di kuasai siapa saja yang mendaftarkan terlebih dahulu, syaratnya merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif dan dapat diterapkan dalam industri (produksi massal). Sehingga teknologi dapat dikuasai terus menerus serta berbagai kemudahan untuk menguasai negara dalam berbagai sektor terutama barang publik. Semua kemudahan tersebut dan penghapusan atas berbagai hambatan usaha disuatu negara akan semakin memperbesar (TNC) dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya.[15]

Dinegara kita pun tidak jauh dari apa yang terjadi pada negara-negara sedang berkembang lainnya, memasuki dasawarsa 1980an kecenderungan ekonomi Indonesia semakin terintegrasi kepada ekonomi global. Perlu kita ketahui banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudian menghancurkan baik dari segi kedaulatan nasional, hukum, dan jutaan rakyat Indonesia. Krisis yang berlangsung hingga saat ini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi.

Kasus ini tidak pernah diakui IMF dan Bank Dunia, dan para ekonom liberal yang selalu menyalahkan kepada pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), Bad Governance dan lainya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya, dan ada berbagai hal lain semacam liberalisasi ekonomi dan kapitalisme global yang dipraktikan di Indonesia sebagai agenda besar deregulasi pelicin globalisai.

Dari kegagalan dan dampak globalisasi maka ada satu hal yang menjadi perhatian kita bersama yaitu, berupa runtuhlah teori ekonomi sebab bila dilihat dari awal mulai globalisasi yang merupakan perasan dasar dari teori Adam Smith (5 Juni 1723-Juli 1790) dengan bukunya ”An Inquiry into the nature and couses of the wealth of nations” dan biasa disingkat dengan wealth of nation yang merupakan buku pertama tentang perekonomian modern dan merupakan dasar perdagangan bebas serta kapitalisme.[16]

Pendekatan yang dijelaskan arus globalisasi pada aspek pembangunan ekonomi Dunia Ketiga terkesan hanya menciptakan ruang eksploitasi tak terhenti. Serta akan menjadikan dunia matematis ekonomis dan tidak dapat pula menjelaskan sebagian dunia yang sudah global. Padahal sudah sama-sama kita ketahui ilmu ekonomi merupakan ilmu sosial yang berangkat dari realitas sosial bukan fisika atau aljabar yang serba pasti ditambah dengan pandangan teori ekonomi yang kausalitas (sebab-akibat) misalnya, jika pemerintah menurunkan tingkat suku bunga dan berharap dapat merangsang perekonomian, dengan maksud bisnis dapat meminjam uang dan membuat investasi modal.

Sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya, globalisasi merupakan proyek normatif yang dibalut melalui teori ekonomi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat yang sesuai dengan logika pasar. Bangunan dasar globalisasi ini, menurut Bourdieu, tidak lebih sebagai sebuah fiksi matematika murni yang didasarkan pada sebuah abstraksi luhur mengenai realitas. Bentuk abstraksi ini dibangun konsepsi rasionalitas yang bercorak individual. Rasionalitas individual, seperti halnya paradigma neoklasik, memandang individu-individu dalam rangka memaksimumkan utilitas mereka melalui pilihan sarana yang terbaik guna melayani tujuan-tujuan meraka. Dengan kata lain, individu-individu adalah unit-unit yang dapat mengambil keputusan sendiri secara rasional dan otonom[17]

Globalisasi merupakan sebuah tatanan rezim diskursif yang koheren, yang mampu megkonstruksi pemahaman sosial mengenai otoritas. Atas nama program pengetahuan ilmiah, globalisasi mengubah dirinya menjadi program politik untuk bertindak dan selanjutnya menerapkan makna hegemonik terhadap tatanan dunia. Sebagai proyek politik, globalisasi menuntun dunia untuk mencapai kesejahteraan universal berlandaskan pada utopia pasar bebas.

Singkatnya, globalisasi secara canggih mampu menggabungkan berbagai modal yang dikuasainya (ekonomi, politik, militer, sosial, dan pengetahuan tekhnologi) untuk kemudian membanguan kekuasaan dalam rangka memonopoli pemahaman atas kemajuan, pertumbuhan, dan kesejahteraan. Sehingga masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga hanya menjadi target pasar negara adikuasa melalui mekanisme pasar dan perdagangan internasional sebagai bentuk paket arus globalisasi.

Pertanyaannya kemudian, apakah masih ada jalan untuk menyelamatkan masa depan pembangunan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga? Tentunya tulisan ini berangkat dari gagasan awal bahwa perlu adanya mekanisme hukum yang progresif dalam memetakan pembangunan ekonomi yang juga tidak mengeyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya disamping faktor ekonomi secara murni, perlu kiranya instrumen hukum sebagai regulasi dapat berfungsi lebih responsif terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam melakukan pembangunan ekonomi pada setiap negara, khususnya di Indonesia.

D. Memahami Paradigma Hukum Progresif

Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif.[18] Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[19]

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[20]

Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya di Indonesia, kegagalan pembangunan ekonomi yang hanya disandarkan pada liberalisasi ekonomi dan itu dibuktikan dengan arus globalisasi ekonomi memaksa Indonesia harus masuk kedalam poros mekanisme pasar dan perdagangan Internasional. Akibatnya dibawah pemerintahan Susilo Bambang Yudoyhono (SBY) dengan tekanan dinamika ekonomi internasional tidak aneh ketika pemerintah sekarang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai Jilid II, hal ini dilakukan dengan dalih menyesuaikan harga minyak dunia yang melonjak naik secara drastis. Sehingga pemerintah melakukan pengurangan alokasi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN nasional.

Alasan-alasan diatas secara teknis ekonomis cukup bisa dimaklumi. Persoalannya kebijakan menaikkan harga BBM harus realistis terhadap kondisi rakyat saat ini. Untuk sampai pada keyakinan bahwa dampak kenaikan harga BBM secara simultan tak berdampak besar terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu mengetahui secara seksama kondisi daya tahan masyarakat. Artinya pemerintah terlebih dahulu melakukan general chek up atas daya tahan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum. Karena pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo liberalisme belaka.[21] Sehingga tak heran agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah positivisme hukum.

Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan.[22]

Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi[23] secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.[24]

Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.[25]

Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia”. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogkan kepada undang-undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya mengedepankan kepentingan invenstasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari aturan tersebut.

Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Subtansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatife.

Terakhir adalah, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but experience.[26]

Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan pada aspek mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah sesuatu ilmu ekonomi murni. Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan, bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara mekanistik dapat diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut.

E. Alternatif Pembangunan Ekonomi Progresif

Secara konstitusional sistem pembangunan ekonomi Indonesia didasarkan pada prinsip keseimbangan, kepastian dan keadilan yang kemudian semua itu dikelola dan diatur oleh negara. Dengan pemahaman seperti itu bahwa bangsa ini mempunyai cita-cita bersama untuk mendapatkan hak kedaulatan ekonomi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Bertolak dari itu, hak kedaulatan ekonomi secara eksplisit dapat dilihat pada Pasal 33 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945 yang secara utuh dan menyeluruh dapat dijadikan orientasi sistem perekonomian Indonesia. Amanat konstitusi ini dapat dipahami tidak hanya dimaksudkan sebagai landasan yuridis sistem perekonomian Indonesia, melainkan sekaligus sebagai dasar bagi penyelenggaraan demokrasi pembangunan ekonomi Indonesia.

Ketika melihat konsep dasar dari Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 dalam kerangka hukum progresif, sejatinya masih berada pada optik sosiologis bahwa hukum diperuntukkan melayani kepentingan masyarakat. Seperti halnya yang disebutkan dalam amanat konstitusi tersebut “bahwa bumi, air dan kekayaan alam beserta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada hakikatnya gagasan ini adalah suatu proses memberi bentuk terhadap sejumlah keinginan hak kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia. Dengan demikian yang lebih dikedepankan adalah membuat suatu bangunan perundang-undangan yang memiliki orientasi pada kebijakan pembangunan ekonomi dengan struktur rasional dan bertolak dari potret struktur social masyarakat. Paradigma yang demikian itu tentunya dalam menghadapi masalah, tanpa meninggalkan subjek akar rumput masalah.

Terlepas dari kejelasan bentuk serta tujuan sistem pembangunan ekonomi Indonesia tersebut, suatu hal kiranya perlu ditegaskan disini. Dengan ditetapkannya Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 sebagai konsep dasar tujuan dari pembangunan ekonomi Indonesia, hal itu tidak serta merta merupakan penolakan terhadap ketidakhadiran investor asing dengan melakukan aktivitas ekonomi melalui perusahaan yang tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akan tetapi persoalannya kehadiran perusahaan asing yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dimiliki, justru membuat Pasal 33 UUD 1945 ini tidak lagi memiliki legitimasi kedaulatan ekonomi kerakyatan. Karena antara mewujudkan cita-cita demokratisasi pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan berdasarkan amanat konstitusi, akan selalu bersitegang dengan realitas yang sampai sejauh ini perusahaan asing hanya mengeruk kekayaan alam kita, tanpa memberikan kontribusi secara seimbang dengan apa yang sudah menjadi hak bangsa ini. Tentu bangsa ini tidak selalu menutup mata, bagaimana bisa potret yang terjadi di papua, kekayaan alam yang berlimpah ruah, dan freport sebagai perusahaan asing dari Amerika Serikat yang melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam di papua hanya sekian persen saja hasil dari penambangan dapat dinikmati oleh rakyat papua. Terbukti fenomena busung lapar menjadi ancaman bagi rakyat papua, dan persoalan ini menjadi indikator kegagalan sistem pembangunan ekonomi saat ini.

Ilmu hukum progresif memperhatikan kesenjangan sosial yang terjadi dengan motif pembangunan ekonomi, dilakukan melalui sistem ekonomi neo-liberalisme. Di balik prinsip-prinsip dasar dari sistem ekonomi neo-liberalisme, terlihat jelas bahwa antara faktor kerakusan manusia sebagai embrio munculnya paham positivisme hukum pada sektor sistem ekonomi tersebut, sesungguhnya merupakan mata rantai yang terkait erat di antara satu dengan lainnya. Kehadiran globalisasi sebagai proses kapitalisasi ekonomi liberal, tidak lain berakar pada perilaku manusia individu yang mengumbar nafsu keserakahan duniawi, dan tidak segan-segan mengorbankan kepentingan masyarakat keseluruhan.[27]

Globalisasi telah memunculkan pembagian kekuasaan yang tidak merata dan tidak seimbang. Sebagian besar kekuasaan dalam pembuatan hukum maupun penegakan hukum berada di tangan para aktor globalisasi, sedangkan para pelaku ekonomi di negara-negara berkembang semakin memberikan tekanan ekonomi. Kondisi demikian itu memberikan bukti bahwa sistem perekonomian menjadi faktor pendorong terjadinya perlapisan sosial dalam skala global. Penumpukan kekuasaan di tangan para aktor globalisasi, berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber daya alam dalam masyarakat (dunia). Dengan terjadinya perlapisan sosial, maka hukum pun sulit mempertahankan netralitasnya. Di sinilah Friedman menunjukkan bahwa perlapisan sosial merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada substansi maupun pelaksanaannya dalam menjalankan sistem pembangunan ekonomi global maupun nasional.[28]

Maka paradigma hukum progresif selalu mencerna perubahan yang terjadi dalam dinamika masyarakat. Dengan kualitas yang demikian itu, maka hukum progresif akan selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat ilmu itu adalah mencari kebenaran. Setidaknya paradigma hukum progresif memberikan jalan dengan berupa alternatif di tengah-tengah degradasi orientasi sistem pembangunan ekonomi Indonesia saat ini. Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan secara mendasar dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia secara lebih berkeadilan, partisipatif dan berkesinambungan? Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan tersebut. Untuk itu peranan negara dalam politik pembangunan ekonomi Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945, ditekankan pada segi membuat peraturan perundang-undangan guna mengatur jalannya pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang yang memungkinkan dilakukannya penindasan rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.

Agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang diasumsikan sebagai agenda pembanguanan ekonomi progresif, didasarkan atas upaya terus-menerus menciptakan demokratisasi modal dengan penuh keseimbangan, keadilan serta kepastian demi kesejahteraan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Setidaknya terdapat empat agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang perlu segera dilakukan. Keempat agenda pembangunan ekonomi progresif tersebut, pertama, desentralisasi penguasaan sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan melanjutkan reformasi fiskal (pembaruan UU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, UU Perpajakan, dan UU Pajak dan Retribusi Daerah). Dengan catatan kebijakan pembaruan formulasi ini merupakan refleksi dari amanat konstitusi Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945.[29] Kedua, pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Selama ini, penguasaan lahan pertanian secara berlebihan dilakukan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat dan atau petani berdasai sebagaimana terjadi pada era Orde Baru harus segera diakhiri.[30]

Ketiga, penciptaan struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya persaingan secara berkeadilan. Struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya persaingan secara berkeadilan merupakan satu-satunya institusi yang dapat diandalkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi ekonomi dan monopoli usaha di tangan segelintir pengusaha besar. Untuk itu, UU Anti Monopoli harus lebih diupayakan secara optimal agar dapat menjamin terwujudnya lingkungan usaha yang transparan dan kompetitif.[31] Kemudian yang keempat, penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif sebagai upaya untuk mempertahankan demokratisasi modal ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif ini juga diperlukan sebagai upaya untuk secara terus-menerus membentuk dana sosial bagi anggota masyarakat yang rentan. Dengan adanya sumber dana pasti bagi penyelenggaraan program perlindugan sosial maka tanggung jawab negara sebagai pemelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana yag diamanatkan oleh konstitusi akan dapat dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan.[32]

Dari kenyataan tersebut, bahwa konsep alternatif pembangunan ekonomi kerakyatan dengan langkah progresif yang mencoba mencari penyelesaian terhadap krisis pembangunan ekonomi yang terus-menerus terjadi di Indonesia, tampaknya masih merupakan konsep pinggiran yang masih belum dijalankan sepenuhnya. Konsep ini masih harus di perjuangkan secara gigih, dan mungkin akan memakan waktu yang lama sebelum pada akhirnya dapat dijalankan secara efektif.

F. Simpulan

Sebagai simpulan kiranya patut dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan yang mendasari keempat agenda gagasan alternatif pembangunan ekonomi progresif tersebut memang tidak didasarkan pada paradigma sistem ekonomi neo-liberalisme, melainkan melalui paradigma sistem ekonomi progresif. Artinya, pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan konglomerasi, melainkan dilakukan pada kekuatan pemerintah daerah, mekanisme pasar berbasis kerakyatan, usaha-usaha pertanian rakyat dan sistem perpajakan yang progresif. Diatas fondasi sistem pembangunan ekonomi progresif itulah selanjutnya, bangunan ekonomi Indonesia yang adil, partisipatif, dan berkesinambungan akan ditegakkan.


David Antony, S.H.

Direktur Bidang Dinamika Politik dan Konstitusi

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Referensi

Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis Memetakan Perekonomian Indonesia, Korupsi Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002.

Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005.

Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001.

Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, 1989, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.

Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.

_______________, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.

Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.

_______________, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

_______________, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.

_______________, Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

_______________, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982.

Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, September 2005.

Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.



[1] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis “Memetakan Perekonomian Indonesia”, Korupsi Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002 hlm 01.

[2] Ibid.

[3] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 hlm ix.

[4] Ibid.

[5] Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004 hlm 19.

[6] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006 hlm 8.

[7] Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 127.

[8] Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, Vol. 9, Thn 1989, hlm. 232. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 157.

[9] Ibid.

[10] Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001 hlm 25.

[11] Ibid.

[12] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 46.

[13] Ibid.

[14] Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005 hlm 18.

[15] Ibid. Perjuangan melawan globalisasi di meksiko di mulai saat kaum pribumi Indian di Chiapas pada tahun 1994 dan bersamaan dengan penandatanganan NAFTA yang menurut kaum ZAPATISTA sebagai ”Hukuman Mati” bagi Indian dan hadiah bagi orang kaya. Perlawanan ini dilakukan sebab setelah IMF dan Bank Dunia masuk Meksiko, jumlah orang yang sangat miskin di daerah pinggiran meningkat sampai sepertiganya, setengah dari total populasi tidak memiliki akses kepada sumber-sumber perekonomian untuk memenuhi kebutuhan dasar.

[16] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 56. Kemudian para pendukung teori ini seperti dilaporkan dalam laporan tahunan yayasan Russel yang merupakan sponsor banyak penelitian masalah kemasyarakatan menyatakan bahwa seorang ilmuwan ekonomi yang jengkel dengan kecendrungan ”myopic” dalam disiplin ilmunya, yaitu kebutuhan masyarakat yang memerlukan jawaban dan melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmu ekonomi datang dengan resep ekonomi teknis. Ketika dihadapkan dengan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang semakin luas yang diperlukan adalah pembenahan mekanisme pasar, seolah-olah mekanisme pasar dengan tidak adanya campur tangan pemerintah persoalan akan selesai

[17] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis….Op.,Cit. hlm 28. Individu-individu menempati sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem di luarnya. Otonomisasi individu sebagai agregat rasional tidak membutuhkan karakter kolektif dalam dirinya sendiri. Karena individu-individu memiliki kebebasan penuh untuk menciptakan efisiensi dan kesejahteraan maksimum bagi dirinya sendiri. Globalisasi kurang lebih bersandar pada asumsi ini, di mana pencapaian maksimum individu diutamakan sementara karakter sosial yang mengitarinya diabaikan. Bagi Bourdieu, globalisasi dibentuk melalui teori ekonomi-politik murni yang teguh mempertahankan oposisi antara logika khas ekonomi, di mana kompetisi dijadikan syarat bagi tercapainya efektivitas dan logika sosial, dilain sisi, yang menekankan pada persoalan keadilan.

[18] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

[19] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.

[20] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.

[21] Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, “liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, (stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkirkan dari penghalang jalan”. Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.

[22] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, hlm 186.

[23] Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm 3-4.

[24] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit.

[25] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139-147.

[26] Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.

[27] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982 hlm 162.

[28] Ibid

[29] Revirsond Baswir, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.

[30] Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hasil dari pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan negara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para petani penggarap yang memang menggantungkan kelangsungan segenap hidup anggota keluarganya dari mengolah lahan pertanian. Ibid.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

Tidak ada komentar: