REFLEKSI FILSAFAT HUKUM;
MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL
A. Pendahuluan
Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan tapi pasti sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang berarti, dan pada saat itu kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin sempit dengan tidak memberikan ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk mencapai keadilan mengalami jalan buntu; apakah masih wajar untuk menebar asa? Pertanyaan ini sebenarnya bukan wujud ketidakpercayaan pada makna keadilan, akan tetapi potret kehidupan saat ini menggambarkan betapa buruknya komitmen keadilan sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita dalam mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos tatanan keadilan sosial masyarakat.
Penelusuran mengenai keadilan tentu tidak akan terlepas dari dialektika hukum dalam dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser kaidah normatif dan nilai-nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi mengenai filsafat hukum mengesankan akan adanya suatu uraian kefilsafatan yang sedemikian abstrak, akan tetapi harapan tulisan ini pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.[1]
Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah. Refleksi ini dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Misalnya yang disebut patologi hukum, hal ini sesuatu yang tabu sifatnya dalam pembicaraan hukum yang positivistik. Misalnya, aktualisasi antinomi nilai-nilai dalam hukum; seperti nilai kepastian dan keadilan, individualisme dan kolektivisme, serta kebebasan dan ketertiban. Persoalan inilah yang selalu menjadi dialektika perkembangan keadilan sosial. Karena secara wajar aktualisasi antinomi tersebut seakan memberikan jarak yang tak mungkin dapat bertemu dalam menggapai hukum yang berkeadilan sosial.
Jika membahas perihal refleksi filsafat hukum, secara fundamental yang sangat perlu untuk diuraikan terlebih dahulu ialah perihal nilai. Nilai disini dilakukan untuk lebih memahami dan mendalami hakikat suatu persoalan hukum secara konseptual. Seyogyanya persoalan itu dipahami secara komprehensif dengan melakukan perenungan, pengujian, serta pengajuan kritik dan penilaian secara teratur dan sistematis. Idealnya hukum hadir ditengah-tengah masyarakat tidak untuk dirinya sendiri, melainkan menjamin keutuhan sosial masyarakat. Sehingga tema besar dari hadirnya hukum secara filsofis adalah bagian dari kebutuhan dan komitmen bersama akan nilai keadilan sosial.
Ketika berangkat dari asumsi keadilan sosial menjadi nilai objektif yang harus dipenuhi, tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan perspektif cita-cita hukum suatu bangsa. Karena nilai tersebut akan berhadap hadapan dengan sesuatu yang tidak lunak dalam mewujudkannya. Terlebih lagi secara objektif, sesuatu dianggap mempunyai arti nilai jika terpenuhinya faktor atau unsur utility (manfaat) dan importance (kepentingan), dan secara subjektif apabila terpenuhinya faktor need (kebutuhan) dan estimation (perkiraan).[2]
Dengan demikian, hasil perasan dari refleksi filsafat hukum nantinya akan lebih menilik orientasi nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia. Karena dalam nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia itulah akan terpenuhi sekaligus unsur-unsur subtansial maupun formal dari cita-cita hukum yang berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, nilai nilai yang akan dibahas adalah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar secara objektif.
B. Pandangan Filsafat Terhadap Hukum
Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.[3]
Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika kefilsafatan secara praktikal akan menyebabkan kekakuan.[4]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.[5]
Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[6]
Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn,[7] hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Setidaknya refleksi filsafat hukum berangkat dari bidang penyelidikan secara folosofis yang pada gilirannya dapat menemukan penelusuran terhadap landasan (dasar-dasar) kebenaran. Maka dengan itu, ada tiga bidang penyelidikan ilmu hukum dalam kajian “filsafat hukum”, antara lain;[8]
(1) Masalah mengenai konsep atau sifat hukum.
Bidang penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap ada hubungannya secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum, kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang terutama ini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan untuk menganalisa dan memberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di atas. Mazhab analitis dikemukakan oleh John Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai dianggapnya sebagai suatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah yang efektif dalam kenyataannya. Ilmu hukum hanya bertujuan untuk menentukan adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlaku lepas dari nilai-nilai etis dan pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitis tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan sosial ke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang menentukan penciptaan hukum dan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkan oleh kaedah-kaedah hukum.
(2) Masalah tujuan atau cita-cita hukum.
Bidang penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang memberikan kepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang khusus, dan merupakan kriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya cita-cita hukum itu dianggap adalah keadilan. Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antara keadilan dan hukum positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum semacam ini sering dikenal sebagai ilmu hukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat hubungannya dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis, mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukum alam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini. Filsafat ini mencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abad kesembilan belas, filsafat hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini. Dasar filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik yang diteruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari sistem-sistem Kant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum alam telah juga menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya (utilitarianisme, filsafat solidaritas, intuisionisme Bergson, fenomenologisme Husserl dan lain-lain).
(3) Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.
Bidang penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal usul historis dan pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor sosial yang dalam zaman kita menentukan isi variabel dari hukum; dengan bergantungnya hukum dan pengaruh terhadap ekonomi dan kesadaran hukum rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah hukum atau lembaga-lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang untuk membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup” dengan hukum teoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif bagi penerapan hukum berlainan dengan alasan-alasan rasional dalam setiap putusan.
Pada dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu metode untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau mendasar tentang hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga teori tentang kebenaran yakni; the correspondence theory of truth, the coherence theory of truth, dan pragmatic theory of truth.[9] Ketiga teori ini mendasarkan pengertian dalam pencarian kebenaran. Jadi tujuan filsafat hukum dan ilmu hukum berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban. Tujuan hukum bersifat etis, yakni bersumber pada kebaikan.
Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam filsafat hukum, ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, teori ini sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum. Kemudian teori koherensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan bahan kajian filsafat hukum. Berbeda dengan teori pragmatik, bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum secara praksis.[10]
Teori koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan untuk memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk berfikir secara kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial selama ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
C. Menilik Pertalian Hukum dan Keadilan
Asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan topik pada bagian ini ialah bahwa hukum bisa, atau, sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan; bagaimana kaitan antara keduannya, serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.
Meminjam pribahasa latin, berbunyi: fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum); yang artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya).[11] Pribahasa latin tersebut menyiratkan suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat untuk menyajikan seperangkat teks keadilan berdasarkan cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa untuk berdaptasi dengan struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang diperjuangkan.
Dialektika hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu menarik pertalian antar keduanya. Meskipun secara aktual, setiap kali kita dihadapkan dengan sikap kritis terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu merupakan nilai dan kebutuhan azasi bagi masyarakat manusia yang beradab. Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat dan tidak adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian terhadap orang lain tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.
Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.[12]
Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato, kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang metafisik, mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia berakal.[13]
Pemetaan dua arus pemikiran keadilan tadi, dalam kaitannya dengan transformasi sosial Karl Marx mengenai pemetaan kelas sosial. Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonistis. Dalam pandangan marx watak dasar yang antagonistis ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat diuraikan karena perbedaan kedudukan mereka di dalam tatanan ekonomi.[14] Pertentangan kelas yang kemudian menimbulkan konflik sosial merupakan bagian penjelasan marx mengenai dinamika keadilan pada zaman itu. Bagaimana kelas pekerja dalam masyarakat kapitalis modern; tidak pernah diperhitungkan pada taraf kelas sosial yang sama, sehingga kedudukan mereka terkucilkan dari kelas sosial di atasnya. Oleh karena itulah ketimpangan keadilan ini dapat dilihat dengan rasionalisasi yang dilakukan oleh marx.
Mengetengahkan tentang sifat relatifitas hukum dan keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Kusumohamidjojo, bahwa oleh karena hukum adalah kenyataan yang melekat pada manusia yang terus menerus berubah, maka kaidah-kaidah normatif yang menjadi muatan hukum selalu bersifat relatif, dengan akibat bahwa ketertiban umum serta benang merah keadilan yang harus dihasilkannya juga selalu bersifat relatif, sehingga terus-menerus menjadi objek kontemplasi, justru untuk terus menempatkannya dalam konteks yang kontemporer.[15]
Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas, merupakan ragam dalam pemberian makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,[16] teori keadilan sosial bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial masyarakat bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat pluralistik dengan kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan. Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak boleh didasarkan atas suatu anutan nilai hidup tertentu, melainkan harus-lah dikendalikan oleh prinsip yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Prinsip itu adalah keadilan sosial.
Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.[17]
Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh rawls pada dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat-ditambah bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya.[18]
Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan kesesuaian antara idealitas dengan realitas. Bahwa paradoks antara idealitas hukum dengan realitas sosial yang banyak terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini menilik pertalian hukum dan keadilan mengalami disorientasi. Walaupun keduanya memiliki kausa yang positif bila dapat diwujudkan dengan benar. Disinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, dinamika hukum dalam realitas sosial, dan sebagai konsekuensinya hukum harus dilihat dari ruang sosial yang lebih luas.
D. Hukum dan Perubahan Sosial
Kita sekarang sudah sampai ke tingkat peradaban manusia sedemikian rupa, dimana masyarakat sudah ditata secara sangat maju. Maka sekalian pekerjaan hukum juga ditempatkan dalam konteks dan bingkai penataan masyarakat yang sudah dilakukan sangat maju dan rasional. Masyarakat di dunia sudah berubah dari masyarakat yang tradisional menjadi sesuatu yang serba ditata dan tertata secara lebih rasional. Dengan demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat dengan berbagai konstruksi, atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum menjadi bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial.
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan hukum semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah semestinya apa yang dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi hukum Indonesia yang mencetuskan teori hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.[19] Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.
Suatu masyarakat senantiasa mempunyai aspek struktural dan prosedural, oleh karena masyarakat sekaligus merupakan wadah dan proses kehidupan bersama manusia. Oleh karena itu lazim dikatakan, bahwa masyarakat terdiri dari aspek yang relatif statis dan dinamis. Aspek yang relatif statis terwujud dalam struktur sosial, sedangkan aspek dinamisnya terwujud dalam proses sosial. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pokok dari suatu sistem kemasyarakatan (societal-system).[20] Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu bagian dari dinamika sosial atau dinamika masyarakat.
Membaca dinamika hukum dan perubahan sosial hendaknya menempatkan hukum pada ruang sosial yang lebih luas. Seperti halnya, dalam suasana keterpurukan seperti ini kita terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar; seperti: “kita bernegara hukum untuk apa?” Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?[21] Dibalik pertanyaan ini terkesan memberikan pendapat bahwa hukum hendaknya bisa mendatangkan kebahagiaan bagi yang membutuhkannya.
Sudah tentu pembicaraan mengenai perubahan sosial lebih baik diawali dengan suatu pembahasan ringkas mengenai konsepnya. Suatu konsep merupakan hasil proses abstraksi yang dilakukan terhadap gagasan-gagasan atau pengalaman-pengalaman secara empiris. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat mungkin berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan seterusnya.[22]
Bagaimana hukum menjadi sebuah diskursus dari arus perubahan sosial yang begitu cepat mengikuti perkembangan jaman. Kita ingat sebagaimana kelompok-kelompok wanita, warga Bali dan Yogyakarta menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Bagi mereka RUU APP akan mengakhiri keragaman budaya dan pembunuhan karakter terhadap individu seniman, khususnya wanita untuk mengatur tubuhnya sendiri. Berbagai penolakan itu membuktikan telah terjadi pergeseran nilai dalam struktur sosial masyarakat, yang mana hukum berusaha mereduksi persoalan pornografi dan pornoaksi masuk ke dalam upaya kriminalisasi.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial seketika dapat mendorong terjadinya perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Seperti apa yang dikatakan oleh Van Doorn;[23] hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya, ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk prilakunya.
Interaksi antara hukum dan masyarakat dipertajam oleh kehadiran hukum modern yang segala sudut pandangnya dialogis terhadap prinsip rasionalitas. Artinya hukum hanya berdaya-guna bila memiliki kebenaran rasional, sebuah kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip logis-kritis. Rasionalitas itu memaksa hukum menjamin kepastian demi terwujudnya keadilan. Persoalannya keadilan yang dimaksud ialah keadilan hukum, sebagai ranah dari penjelmaan doktrin positivisme hukum. Keadilan hukum semata-mata hanya akan menjalankan hukum secara praktikal sesuai dengan prosedur hukum demi terwujudnya nilai kepastian hukum.
Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada pemahaman antara keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang.[24] Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik terhadap ajaran dari postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian hukum saja, ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).[25] Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh kepastian dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang mereka lakoni pada waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.
Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang mereka gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut Sampford, kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya.[26] Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan prilaku.
Akhir dari itu semua, bahwa hukum merupakan ekspresi dari kehendak sosial masyarakat, ia akan selalu fluktuatif berdasarkan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan prilaku sosial masyarakat. Keadilan sosial akan menjadi pintu terakhir dari cita-cita hukum setiap bangsa, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; yaitu hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.[27] Sisanya hanya adil untuk siapa? dan untuk apa?. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan pada bagian selanjutnya, yaitu; refleksi filsafat hukum dalam menuai catatan akhir mencari reposisi keadilan sesungguhnya.
E. Refleksi Filsafat Hukum; Sebuah Catatan Akhir Menuju Keadilan Progresif
Seperti apa yang telah di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa refleksi filsafat hukum pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat. Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah.
Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari ide-hukum (cita-hukum).[28] Dalil yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; bahwa ia menjabarkan ide-hukum dikemas melalui tiga aspek, yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. pertautan antara ketiganya itu sangat dinamis. Menurutnya; tidak dapat ditentukan asas mana yang harus diutamakan, karena yang paling bisa menentukan ialah kekusaan kehendak dari pembuat undang-undang: positivitas dari hukum pada akhirnya tergantung pada keputusannya.
Akan tetapi dibalik kenyataan itu, nilai kebenaran ialah suatu keniscayaan menuju jalan terang keadilan. Hanya kemudian prevensi nilai kebenaran akan sangat tergantung sekali terhadap faktor kepentingan dan kebutuhan. Fakta tersebut memperlihatkan betapa sulitnya dalam menentukan sikap adil. Keadilan merupakan sasaran utama dari hukum, maka penegakan hukum haruslah diarahkan, antara lain agar tercapai keadilan, baik bagi individu maupun keadilan bagi masyarakat, yang dikenal dengan istilah keadilan sosial. Keadilan mestilah merupakan faktor penting bagi adanya justifikasi terhadap suatu penegakan hukum, karena penegakan hukum merupakan perwujudan “kenyataan hukum” yaitu; cita-cita hukum bangsa.
Dalam praktek hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum telah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak, sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis sudah diikuti.
Persoalannya, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja banyak masyarakat yang tidak puas, dan masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia ditenggarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat. Mimbar pengadilan telah terisolasi dengan pemahaman makna kepastian hukum saja, tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
Sampailah kita pada pembicaraan bahwa refleksi filsafat hukum yang memfokuskan diri pada cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataanya makna keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Apa yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto Rahardjo[29] yaitu; paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi keilmuan terhadap paham postivisme hukum.
Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia”. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[30]
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[31]
Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah rapuhnya penegakan hukum Indonesia saat ini, sebagai catatan akhir penulis menuju keadilan progresif yang pada aktualisasinya selalu percaya diri dengan prinsip-prinsip kebenaran. Keadilan progresif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan hukum di masyarakat. Setidaknya keadilan progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga varian pokok, yaitu; pertama, menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik. Sekalian dengan ciri pembebasan itu, keadilan progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.
Kemudian yang kedua, didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan tidak semata-mata berdasarkan pada logika peraturan. Sehingga dalam hal ini keadilan progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas perjuangan itu. Dan yang ketiga, paling utama keadilan progresif banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas menjadi amat penting, seperti: empati, “kejujuran dan keberanian”. Faktor-faktor itulah yang harus dikedepankan daripada sekedar menjalankan peraturan secara mekanistis-linier. Dalam kualitas yang demikian itu, maka keadilan progresif akan selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat dari keadilan progresif; yaitu mencari kebenaran hakiki.
F. Simpulan
Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan yang berbasis cita-cita hukum adalah berangkat dari sisi keadilan pada realitas sosial yang lebih luas. Setidaknya kenyataan hukum, dapat di konstruksikan melalui ranah hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga tak heran ketika manusia itu untuk hukum, keluarannya mesti keadilan prosedural. Berbeda ketika hukum adalah untuk manusia, ia membentuk skema hukum berdasarkan kebutuhan dan hanya untuk melayani kepentingan manusia, disitulah terdapat keadilan progresif. Keadilan yang mana dapat menjawab stagnasi supremasi hukum kita saat ini.
Deni Ismail Pamungkas, S.H.
Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)
Universitas Janabadra Yogyakarta
Referensi
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008.
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000.
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999.
Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
______________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006.
______________, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
______________, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986.
Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998.
Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.
[1] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986, hal 13-15.
[2] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 20.
[3] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab “falsafah” yang diturunkan dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata philosophia, filsafah, falsafat, berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaa. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut “failasuf’ (jamaknya: filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut “filosuf”.
[4] Ibid.
[5] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 18.
[6] Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.
[7] Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal 439.
[8] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit, hal 13-15.
[9] Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 16.
[10] Ibid.
[11] Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hal 87.
[12] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 96.
[13] Ibid.
[14]A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal 146.
[15] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999, hal 222.
[16] Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 19-20.
[17] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 99.
[18] Ibid.
[19] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151. Sejak hukum itu diadakan tidak untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam masyarakat, maka hukum sebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah konstruksi harus bekerja dalam lingkungan yang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke dalam masyarakat. Secara padat bisa daikatakan, bahwa “hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Ibid hal 142.
[20] Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 49.
[21] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 9.
[22] Soerjono Soekanto, Pendekatan..Op.,Cit, hal 52.
[23] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal 4.
[24] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii
[28] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan..Op.,Cit, hal 19.
[29] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.
[30] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal ix.
[31] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar